Jumat, 21 Maret 2014

Kebakaran Hutan, Musnahnya Pabrik Oksigen Kita.

Memasuki bulan ketiga di tahun 2014, penduduk Batam masih menantikan datangnya hujan. Hujan yang menyirami bumi Batam, yang akan mengikis asap dan debu, membasahi tanah dan rerumputan, memuaskan dahaga tetumbuhan dan manusia-manusia yang kegerahan, menyegarkan kembali udara yang sekian lama terakumulasi polusi.
Beberapa bulan terakhir ini, kondisi atmosfir Batam, sangat tak bersahabat. Udara panas membuat gerah. Angin yang cukup kencang menerbangkan debu dan serpihan yang berbobot ringan, membuat udara menjadi terasa sesak.  Hujan yang biasanya sudah turun, hingga hari ini belum juga hadir. Jalanan di beberapa kawasan dekat hutan lindung yang biasanya selalu segar dan nyaman, kini mulai terasa berbeda. Asap dan jelaga dari kebakaran hutan membuat pagi tak lagi berseri.  Udara pagi tak lagi segar.  Bernafas pun tak lagi  nyaman dan menyegarkan rongga dada.
Pemberitaan di media juga melaporkan kondisi Riau dan pulau Sumatera yang bahkan lebih parah. Kabut asap dimana-mana, menyisakan sesak dan aroma sengit bau bakaran yang bersumber dari ratusan titik api, menghalangi jarak pandang dan mengganggu penerbangan. Memprihatinkan. TV One memberitakan bahwa Riau saat ini sudah tak layak huni karena hanya 5% udara bersih yang bisa dihirup.
Perkembangan teknologi  yang dimiliki manusia kian hari kian meningkatkan interaksi manusia dengan 3 media lingkungan, tanah, air dan udara.  Bukan hanya sekedar untuk memnuhi kebutuhan dasar sumberdaya untuk menjalani hidup, namun interaksi ini bahkan telah merambah pada kebutuhan sumberdaya untuk menikmati hidup. Akibatnya eksploitasi terhadap ketiga media lingkungan itu, kian meningkat pula.
Sebagian besar udara kita terdiri dari dari campuran gas, terutama nitrogen, oksigen, karbon dioksida dan uap air. Oksigen dibutuhkan oleh semua makhluk yang aerob untuk bernapas, karbon dioksida dibutuhkan dalam fotosintesis tumbuhan, nitrogen bermanfaat dalam metabolisme bakteri nitrat.
Keberadaan udara (atmosfir) telah dieksploitasi manusia dalam berbagai kebutuhannya menjalani hidup. Menurut Mariyam (2012) ada 6 bentuk eksploitasi udara oleh manusia, yaitu: (1) Sumber oksigen untuk pernafasan, (2) tempat pembuangan karbondioksida sisa pernafasan, (3) tempat pembuangan uap air yang dilepaskan dari pernafasan dan berkeringat, (4) tempat pembuangan limbah yang berupa asap, gas dan partikel halus (butir-butir debu) (5) untuk komunikasi fisik dengan pesawat udara dan (6) untuk komunikasi elektromagnetik melalui radio, televisi, radar dan telepon melalui satelit komunikasi.  Semua bentuk eksploitasi ini berpotensi menyebabkan pencemaran udara.
Setiap waktu kita bernafas, seorang dewasa menghirup kira-kira 3.000 gallon (11,4 meter kubik) udara tiap hari. Udara yang kita hirup jika tercemar oleh bahan berbahaya dan beracun akan berdampak serius pada kesehatan. Walaupun tidak terlihat secara kasat mata, pencemar udara mengancam kehidupan kita dan makhluk hidup lainnya.
Saat ini, atmosfir kita tak ubahnya “keranjang sampah”. Pengotoran atau pencemaran udara dapat terjadi karena peristiwa alam yang memang bersifat alami, misalnya hujan abu karena gunung meletus, suhu dan gelombang panas, asap karena kebakaran hutan.  Namun penyebab pencemaran paling besar adalah manusia.  Menurut Mukono (2010), beberapa jenis pencemar udara yang perlu dicermati adalah: (1) benda partikulat atau jelaga atau asap, merupakan pencemar yang paling mudah terasakan dan paling berbahaya karena partikulat yang halus dapat menelusup hingga ke alveoli paru-paru; (2) sulfur oksida, SO2; (3) Karbon monoksida, CO; (4) nitrogen oksida/dioksida (NOx); (5) Karbon dioksida, CO2; dan (6) Hidrokarbon (HC).
Parameter pencemar udara yang perlu diperhatikan terkait dengan penyakit saluran pernapasan adalah benda partikulat/debu, gas SO2, gas NO2 dan gas CO. Jenis pencemar ini umumnya dihasilkan dari proses industry, pembakaran sampah padat, pembakaran sisa pertanian, transportasi, bahan bakar minyak dan batubara, incinerator dan kebakaran hutan.
Secara umum, efek pencemaran udara terhadap saluran pernafasan dapat menyebabkan terjadinya iritasi pada saluran pernapasan, meningkatkan produksi lendir akibat iritasi oleh bahan pencemar sehingga dapat mempersempit sauran pernapasan, rusaknya sel pembunuh bakteri di salauran pernapasan, pembengkakan saluran pernapasan, lepasnya silia dan selaput lendir yang kesemuanya akan berujung pada infeksi saluran pernapasan (Mukono, 2010).
Ditinjau dari kondisi media lingkungan manapun,-tanah, air, udara- saat ini semua serba mengkhawatirkan. Pencemaran melingkupi tanah, air dan udara di sekeliling kita. Kekeringan, musim hujan yang terlambat datang, krisis air bersih, krisis udara bersih, cuaca yang menyengat, banjir, tanah longsor, semuanya,  jika kita cari benang merahnya bersumber dari tergerusnya areal hutan di sekitar kita.
Hutan, satu-satunya areal yang bisa mempertahankan kadar oksigen di atmosfir saat ini makin berkurang jumlahnya. Alih fungsi hutan dengan dalih pembangunan, pembalakan hutan dan kebakaran (atau pembakaran?) yang mencapai ratusan hektar di wilayah Kepri dan Riau daratan, telah memicu krisis udara bersih yang berimbas secara langsung maupun tak langsung pada keberlangsungan hidup makhluk yang bernama manusia. Udara bersih menjadi barang langka saat ini.  Padahal, kita memerlukan udara bersih setiap saat. Pada udara bersih kita dapat bernafas dengan nyaman, suhu udara keseharian tidak menyebabkan kita kegerahan di siang hari atau terlalu kedinginan di malam hari.  Tidak ada bau yang tidak sedap atau bau-bau aneh lainnya yang merangsang kita untuk batuk. 
Kebakaran hutan telah membuat sekian banyak jiwa manusia resah. Tingginya kadar partikulat/debu biasanya diikuti dengan  tingginya gas sulfur dioksida. Kedua bahan tersebut diketahui bekerja secara sinergis untuk menghambat pergerakan silia sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernapasan.  Bahkan lebih jauh dapat mendorong partikulat tersebut lebih banyak masuk ke paru-paru. Tak heran, jumlah pengidap ISPA akhir-akhir ini meningkat drastis.  Belum lagi penyakit kulit, mata dan asma yang muncul karena tingginya kadar pencemar dalam udara.
Rentetan bencana yang menimpa Indonesia, seharusnya menjadikan kita, warga Bumi Indonesia, bermuhasabah. Apa yang salah? Mengapa alam sekarang jauh dari bersikap ramah kepada kita? Mungkin kita selaku manusia sudah terlampau pongah. Sehingga alam dengan berbagai mekanismenya menegur kita. Tuhan memainkan tangan-Nya melalui teguran-teguran bijak-Nya. Lantas, mengapa kita masih larut dalam keangkuhan dan ketidakpedulian tentang lingkungan kita sendiri? Bumi kita sendiri? Hidup kita sendiri? Nasib kita sendiri?
Harus disadari, pencemaran udara sangat berpengaruh pada kenyamanan dan kesehatan manusia dan lingkungan. Partisipasi masyarakat, seberapapun kecilnya, akan memberi arti yang besar bagi terciptanya udara bersih-berkualitas yang kita dambakan. Namun hal ini dibutuhkan prakarsa, fasilitas dan penampungan kegiatan oleh pemerintah. Partisipasi masyarakat akan menjadi lebih besar jika masyarakat termotivasi.  Berbagai kegiatan kepedulian lingkungan yang digagas dan dilakukan oleh masyarakat akan makin berkembang jika pemerintah mau peduli, memfasilitasi atau mengapresiasi.
Seperti dikemukakan di atas, hutan kita perlu uluran tangan kita. Hutan, pabrik oksigen kita, pabrik air bersih kita, pengatur iklim mikro kita, kekayaan flora dan fauna kita, menantikan kepedulian kita. Kepedulian kita pada hutan, berarti kepedulian kita pada bumi, pada sekian banyak nyawa di permukaan bumi.
Perlu kita cermati, kebakaran hutan yang terjadi dan meluas akhir-akhir ini tak akan selesai, jika kita masih saja berpangku tangan, saling tuding atau lempar tanggung jawab. Pemusnahan pepohonan akibat kebakaran secara hitung-hitungan tentu saja jauh lebih cepat dibandingkan pertumbuhan pohon baru yang membutuhkan waktu bertahun-tahun. Perlu kita cermati, Kita bisa saja memilih baju yang akan kita pakai, air yang akan kita minum, dan makanan yang akan kita makan. Tetapi tidak bisa memilih udara yang kita hirup. Saat ini, mungkin kita masih bisa menggunakan masker atau alat pelindung pernapasan lainnya.  Bukan tak mungkin, kelak kita harus memanggul tabung oksigen kemana-mana, jika saja laku kita masih tak berubah.