Memasuki
bulan ketiga di tahun 2014, penduduk Batam masih menantikan datangnya hujan.
Hujan yang menyirami bumi Batam, yang akan mengikis asap dan debu, membasahi
tanah dan rerumputan, memuaskan dahaga tetumbuhan dan manusia-manusia yang
kegerahan, menyegarkan kembali udara yang sekian lama terakumulasi polusi.
Beberapa
bulan terakhir ini, kondisi atmosfir Batam, sangat tak bersahabat. Udara panas
membuat gerah. Angin yang cukup kencang menerbangkan debu dan serpihan yang
berbobot ringan, membuat udara menjadi terasa sesak. Hujan yang biasanya sudah turun, hingga hari
ini belum juga hadir. Jalanan di beberapa kawasan dekat hutan lindung yang
biasanya selalu segar dan nyaman, kini mulai terasa berbeda. Asap dan jelaga
dari kebakaran hutan membuat pagi tak lagi berseri. Udara pagi tak lagi segar. Bernafas pun tak lagi nyaman dan menyegarkan rongga dada.
Pemberitaan
di media juga melaporkan kondisi Riau dan pulau Sumatera yang bahkan lebih parah.
Kabut asap dimana-mana, menyisakan sesak dan aroma sengit bau bakaran yang
bersumber dari ratusan titik api, menghalangi jarak pandang dan mengganggu penerbangan.
Memprihatinkan. TV One memberitakan bahwa Riau saat ini sudah tak layak huni
karena hanya 5% udara bersih yang bisa dihirup.
Perkembangan
teknologi yang dimiliki manusia kian
hari kian meningkatkan interaksi manusia dengan 3 media lingkungan, tanah, air
dan udara. Bukan hanya sekedar untuk
memnuhi kebutuhan dasar sumberdaya untuk menjalani hidup, namun interaksi ini
bahkan telah merambah pada kebutuhan sumberdaya untuk menikmati hidup. Akibatnya
eksploitasi terhadap ketiga media lingkungan itu, kian meningkat pula.
Sebagian
besar udara kita terdiri dari dari campuran gas, terutama nitrogen, oksigen,
karbon dioksida dan uap air. Oksigen dibutuhkan oleh semua makhluk yang aerob
untuk bernapas, karbon dioksida dibutuhkan dalam fotosintesis tumbuhan,
nitrogen bermanfaat dalam metabolisme bakteri nitrat.
Keberadaan
udara (atmosfir) telah dieksploitasi manusia dalam berbagai kebutuhannya
menjalani hidup. Menurut Mariyam (2012) ada 6 bentuk eksploitasi udara oleh
manusia, yaitu: (1) Sumber oksigen untuk pernafasan, (2) tempat pembuangan karbondioksida
sisa pernafasan, (3) tempat pembuangan uap air yang dilepaskan dari pernafasan
dan berkeringat, (4) tempat pembuangan limbah yang berupa asap, gas dan partikel
halus (butir-butir debu) (5) untuk komunikasi fisik dengan pesawat udara dan
(6) untuk komunikasi elektromagnetik melalui radio, televisi, radar dan telepon
melalui satelit komunikasi. Semua bentuk
eksploitasi ini berpotensi menyebabkan pencemaran udara.
Setiap
waktu kita bernafas, seorang dewasa menghirup kira-kira 3.000 gallon (11,4
meter kubik) udara tiap hari. Udara yang kita hirup jika tercemar oleh bahan
berbahaya dan beracun akan berdampak serius pada kesehatan. Walaupun tidak
terlihat secara kasat mata, pencemar udara mengancam kehidupan kita dan makhluk
hidup lainnya.
Saat
ini, atmosfir kita tak ubahnya “keranjang sampah”. Pengotoran atau pencemaran
udara dapat terjadi karena peristiwa alam yang memang bersifat alami, misalnya
hujan abu karena gunung meletus, suhu dan gelombang panas, asap karena
kebakaran hutan. Namun penyebab
pencemaran paling besar adalah manusia. Menurut
Mukono (2010), beberapa jenis pencemar udara yang perlu dicermati adalah: (1)
benda partikulat atau jelaga atau asap, merupakan pencemar yang paling mudah
terasakan dan paling berbahaya karena partikulat yang halus dapat menelusup
hingga ke alveoli paru-paru; (2) sulfur oksida, SO2; (3) Karbon
monoksida, CO; (4) nitrogen oksida/dioksida (NOx); (5) Karbon dioksida, CO2;
dan (6) Hidrokarbon (HC).
Parameter
pencemar udara yang perlu diperhatikan terkait dengan penyakit saluran
pernapasan adalah benda partikulat/debu, gas SO2, gas NO2
dan gas CO. Jenis pencemar ini umumnya dihasilkan dari proses industry,
pembakaran sampah padat, pembakaran sisa pertanian, transportasi, bahan bakar
minyak dan batubara, incinerator dan kebakaran hutan.
Secara
umum, efek pencemaran udara terhadap saluran pernafasan dapat menyebabkan
terjadinya iritasi pada saluran pernapasan, meningkatkan produksi lendir akibat
iritasi oleh bahan pencemar sehingga dapat mempersempit sauran pernapasan,
rusaknya sel pembunuh bakteri di salauran pernapasan, pembengkakan saluran
pernapasan, lepasnya silia dan selaput lendir yang kesemuanya akan berujung
pada infeksi saluran pernapasan (Mukono, 2010).
Ditinjau
dari kondisi media lingkungan manapun,-tanah, air, udara- saat ini semua serba
mengkhawatirkan. Pencemaran melingkupi tanah, air dan udara di sekeliling kita.
Kekeringan, musim hujan yang terlambat datang, krisis air bersih, krisis udara
bersih, cuaca yang menyengat, banjir, tanah longsor, semuanya, jika kita cari benang merahnya bersumber dari
tergerusnya areal hutan di sekitar kita.
Hutan,
satu-satunya areal yang bisa mempertahankan kadar oksigen di atmosfir saat ini
makin berkurang jumlahnya. Alih fungsi hutan dengan dalih pembangunan,
pembalakan hutan dan kebakaran (atau pembakaran?) yang mencapai ratusan hektar
di wilayah Kepri dan Riau daratan, telah memicu krisis udara bersih yang
berimbas secara langsung maupun tak langsung pada keberlangsungan hidup makhluk
yang bernama manusia. Udara bersih menjadi barang langka saat ini. Padahal, kita memerlukan udara bersih setiap
saat. Pada udara bersih kita dapat bernafas dengan nyaman, suhu udara
keseharian tidak menyebabkan kita kegerahan di siang hari atau terlalu
kedinginan di malam hari. Tidak ada bau
yang tidak sedap atau bau-bau aneh lainnya yang merangsang kita untuk
batuk.
Kebakaran
hutan telah membuat sekian banyak jiwa manusia resah. Tingginya kadar
partikulat/debu biasanya diikuti dengan
tingginya gas sulfur dioksida. Kedua bahan tersebut diketahui bekerja
secara sinergis untuk menghambat pergerakan silia sehingga tidak dapat
membersihkan saluran pernapasan. Bahkan
lebih jauh dapat mendorong partikulat tersebut lebih banyak masuk ke paru-paru.
Tak heran, jumlah pengidap ISPA akhir-akhir ini meningkat drastis. Belum lagi penyakit kulit, mata dan asma yang
muncul karena tingginya kadar pencemar dalam udara.
Rentetan
bencana yang menimpa Indonesia, seharusnya menjadikan kita, warga Bumi
Indonesia, bermuhasabah. Apa yang salah? Mengapa alam sekarang jauh dari
bersikap ramah kepada kita? Mungkin kita selaku manusia sudah terlampau pongah.
Sehingga alam dengan berbagai mekanismenya menegur kita. Tuhan memainkan tangan-Nya
melalui teguran-teguran bijak-Nya. Lantas, mengapa kita masih larut dalam
keangkuhan dan ketidakpedulian tentang lingkungan kita sendiri? Bumi kita
sendiri? Hidup kita sendiri? Nasib kita sendiri?
Harus
disadari, pencemaran udara sangat berpengaruh pada kenyamanan dan kesehatan
manusia dan lingkungan. Partisipasi masyarakat, seberapapun kecilnya, akan memberi
arti yang besar bagi terciptanya udara bersih-berkualitas yang kita dambakan.
Namun hal ini dibutuhkan prakarsa, fasilitas dan penampungan kegiatan oleh
pemerintah. Partisipasi masyarakat akan menjadi lebih besar jika masyarakat
termotivasi. Berbagai kegiatan
kepedulian lingkungan yang digagas dan dilakukan oleh masyarakat akan makin berkembang
jika pemerintah mau peduli, memfasilitasi atau mengapresiasi.
Seperti
dikemukakan di atas, hutan kita perlu uluran tangan kita. Hutan, pabrik oksigen
kita, pabrik air bersih kita, pengatur iklim mikro kita, kekayaan flora dan
fauna kita, menantikan kepedulian kita. Kepedulian kita pada hutan, berarti
kepedulian kita pada bumi, pada sekian banyak nyawa di permukaan bumi.
Perlu
kita cermati, kebakaran hutan yang terjadi dan meluas akhir-akhir ini tak akan
selesai, jika kita masih saja berpangku tangan, saling tuding atau lempar
tanggung jawab. Pemusnahan pepohonan akibat kebakaran secara hitung-hitungan
tentu saja jauh lebih cepat dibandingkan pertumbuhan pohon baru yang
membutuhkan waktu bertahun-tahun. Perlu kita cermati, Kita bisa saja memilih
baju yang akan kita pakai, air yang akan kita minum, dan makanan yang akan kita
makan. Tetapi tidak bisa memilih udara yang kita hirup. Saat ini, mungkin kita
masih bisa menggunakan masker atau alat pelindung pernapasan lainnya. Bukan tak mungkin, kelak kita harus memanggul
tabung oksigen kemana-mana, jika saja laku kita masih tak berubah.