Senin, 08 Desember 2014

Antara Asma dan Isma

Penghujung 2014.
Tanpa terasa, hampir 7 tahun melalui kebersamaan.  Dalam biduk rumah tangga yang penuh dengan dinamika.  Hampir 7 tahun menyandang gelar sebagai ibu, dan menyadari bahwa dalam 7 tahun itu, susul menyusul prosesi hamil, melahirkan dan menyusui tanpa henti telah dilakoni.
Hwaahhh.. baru nyadar, kalo selama perjalanan pernikahan, episodnya berputar-putar pada hamil-melahirkan-menyusui plus merawat anak-anak. :P
Ya, dalam tujuh tahun itu, Alloh menitipkan 4 mutiara pada kami. Yang pertama baru genap 6 tahun, 2 minggu lalu.   Yang ke dua menjelang 5 tahun, milad akhir tahun ini, yang ke tiga usia 3,5 tahun dan yang ke empat berusia 1 tahun 3 bulan. Hmm, "Susun Paku" kata temanku yang orang Padang. Aktif, lincah dan kritis. Semuanya spesial dan unik.

Hal yang selalu kuingat, bahwa dalam proses pengasuhan,  7 tahun pertama, Anak adalah Raja. Walaupun tidak sepenuhnya menerapkan ini, melayani mereka bak raja maksudnya,  tetap saja terasa betapa besar stok energi dan sabar yang perlu disediakan di fase-fase awal kehidupan mereka. Melayani 4 anak usia balita, ternyata kadang juga merasa lelah, letih dan menguras emosi.  Betapa tidak, walaupun aku sudah mulai menerapkan pola asistensi, tetap saja semua butuh sentuhan tangan emaknya.  Tak ada yang terlewat.
 Menjadi seorang ibu, ternyata benar-benar.... MENYENANGKAN!
Begitulah salah satu cara bagiku untuk mensugesti diri dan menyerap semua energi positif agar bisa berjibaku menjalani hari-hari penuh tantangan dan petualangan bersama bocah-bocah itu.

Walau lelah, letih dan kadang bosan, Tapi aku bahagia, merasakan hari-hari yang ceria dengan tingkah polah dan tawa mereka.  Walau berantakan, walau belepotan,..Semua ini, tak akan lama kaaann?
Kusadari, kelak aku akan merindukan masa-masa seperti ini.  Lelah, letih dan sabar, jadi ujian buatku, hingga mereka menapaki usianya dan menjejak di fase kedua kehidupan mereka. Hanya beberapa tahun lagi.

Berbeda. Jauh berbeda dengan seorang wanita luar biasa bernama Asma.  Aku berjumpa dengannya kira-kira 2 tahun lalu, ketika suami mengajakku dan anak-anak berkunjung ke rumah salah seorang temannya. Ya, suami Bu Asma.  Kunjungan ini menyadarkanku, bahwa lelah-letihku, dan ujian kesabaranku belum sebanding dengan apa yang diberikan Alloh untuk keluarga ini.

Di rumah Bu Asma, kutemui seorang anak, yang... LUARRR BIASA.  Anak itu, mungkin sekarang usianya sekitar 15 tahun, mengingat adiknya saat ini sudah belajar di SLTP.  Tetapi, usia mentalnya, jauuuhhh... sangat jauh dibandingkan usia fisiknya.
Awalnya, aku dan anak-anak agak kaget melihatnya.  Tapi aku dan suami berusaha menanamkan pemahaman kepada anak-anak (dan diriku sendiri), bahwa putranya Bu Asma itu, istimewa.
Kemampuan fisiknya tampak seperti anak biasa,  tapi kecerdasannya, ku rasa tidak jauh berbeda dengan anak seusia Utsman atau anak usia 1 tahun-an.  Struktur tengkoraknya yang membuat otaknya tidak berkembang, telah membatasi anak itu untuk berinteraksi dengan dunia luar.  Caranya berkomunikasi dengan menunjuk benda yang diinginkan, atau meraih tangan orang lain untuk memberi tahu keinginannya atau dengan rengekannya, membuatku menyadari, bahwa lelah-letih ku tak seberapa.
Bahwa aku sangat beruntung dikaruniai bocah-bocah sehat yang manis dan cerdas.
Bahwa, betapa Alloh tahu dengan tepat kemampuanku, kadar kesabaranku.
Bahwa aku, belum apa-apa dibandingkan bu Asma, dan ibu-ibu lain yang diamanahi anak-anak dengan kebutuhan khusus.
Bahwa seharusnya aku lebih banyak bersyukur.

Teringat lagi, nasihat suami, yang selalu menguatkan dalam lemahku, mengingatkan dalam lupaku,  menyabarkan dalam emosiku ketika menghadapi aneka rupa tingkah pola anak-anak yang mengaduk-aduk emosi:
"Do'akan... Jangan pernah berhenti mendoakan anak-anak. Semoga Alloh membimbing dan memberikan mereka petunjuk".
Walau kadang masih berbalut dongkol, aku luluh juga.  Mereka masih anak-anak kaaaann?
Mungkin kecilku dulu juga begitu.  jangan-jangan, aktif dan kreatifnya juga karena nurun emaknya, hehe...

Dan aku makin jadi tambah merasa tercerahkan dengan bait-bait puisi ini. Semoga juga bisa menjadi pengingat untuk senantiasa bersyukur dan bersabar dalam menjalani prosesi menjadi ibu.

#Ingatlah disana#
Karya Kiki Barkiah

Bunda sayang.....
Saat kau merasa bosan
mendampingi buah hati yang sulit makan
Melayani satu demi satu suapan
Bahkan tak jarang beragam hidangan
kau siapkan sebagai pilihan cadangan
Maka ingatlah disana
Ada bunda yang tengah berjuang mati-matian
Untuk sekedar mengajarkan anaknya menelan
Ingatlah disana
Maka kesulitanmu kan terasa begitu picisan
Maka nikmat Tuhan manalagi yang kau dustakan?

Bunda sayang.......
Saat kau merasa kelelahan
Mengejar buah hati yang aktif berlarian
Membuat barang menjadi berserakan
Menyulap ruang menjadi berantakan
Menarik apapun yang berada dalam jangkauan
Maka ingatlah disana
Ada bunda yang tengah berjuang mati-matian
Untuk sekedar mengajarkan anaknya duduk tanpa sandaran
Ingatlah disana
Maka kesulitanmu kan terasa begitu picisan
Maka nikmat Tuhan manalagi yang kau dustakan?

Bunda sayang
Saat kau merasa tak lagi sabar
Mengajari anak-anakmu belajar
Merangkai huruf dalam kata
Mengerti logika matematika
Maka ingatlah disana
Ada bunda yang tengah mengenalkan benda
Menuntun ananda mengenal dunia
Meski hanya lewat indra peraba

Ingatlah disana
Maka kesulitanmu kan terasa begitu picisan
Maka nikmat Tuhan manalagi yang kau dustakan?

Bunda sayang
Jika kau merasa kesal setengah mati
Mendengar rengekan ananda yang tak kunjung henti
Meminta sesuatu yang tak terpenuhi
Sementara kantukmu tak mampu tertahan lagi
Maka ingatlah disana
Ada bunda yang berusaha meraih arti
Dari ananda yang tak bersuara atau berbunyi
Kecuali berkata dengan isyarat jari
Ingatlah disana
Maka kesulitanmu kan terasa begitu picisan
Maka nikmat Tuhan manalagi yang kau dustakan?

Bunda sayang
Saat kau merasa kesal mencuci
Tumpukan pakaian kotor sang buah hati
Bernoda cat, tanah lumpur atau oli
Yang tersisa saat bereksplorasi
Maka ingatlah disana
Ada bunda yang masih harus merawat remaja
Yang belum mampu bersuci sendiri dari istinja
Bahkan kemampuannya setara balita
Ingatlah disana
Maka kesulitanmu kan terasa begitu picisan
Maka nikmat Tuhan manalagi yang kau dustakan?

Bunda sayang...
ternyata kesulitan ini begitu picisan
Begitu picisan untuk dihadapi dengan tangisan
Begitu picisan untuk dihiasi dengan keluhan
Apalagi diakhiri dengan perpisahan

Bunda sayang...
Pun jika kau merasa menjadi bunda yang kumaksudkan
Dikaruniai ananda yang istimewa dalam kebutuhan
Maka ingatlah bahwa takkan Tuhanmu memberi beban
Diluar batas kemampuan
Maka berbahagialah karena engkau yang dipercaya
Mengemban amanah yang luar biasa
Dan merekalah karunia
Yang insya Allah kelak memudahkanmu menuju surga

#Batam, dalam kebuntuan nulis sinopsis