Kamis, 08 Mei 2014

Discovery Learning

#Fragmen 1#
Suatu siang.
"Ummi, lihat, kami punya sesuatu."
Sulungku yang baru berusia 5 tahun itu membawa sebuah gelas bekas air minum kemasan.  Tampak benda-benda yang disebutnya"sesuatu" penuh termuat dalam gelas itu.
"Sesuatu apa, Kak?" Aku menghentikan aktivitasku mencuci peralatan makan. Mengalihkan perhatian sepenuhnya padanya.
"Ini, dipetik dari daun-daun di pohon." Dia mengangsurkan gelas yang dipegangnya. "Ada isinya, putih-putih loh Mi."
Aku mengamati gulungan-gulungan hijau di dalam gelas.
"O, ini kepompong. Kakak dapat dari mana?"
"Dari pohon jambu, masih banyak di sana." Dia melangkah meninggalkanku, menuju halaman depan yang masih ramai dengan teman-temannya.
Aku bergegas menyusulnya. Beberapa anak balita yang sedari tadi bermain di sana masih terlihat aktif memanjati pagar, naik ke kursi dan memegang gagang sapu. Tampak daun-daun jambu yang hijau berserakan di sekitar mereka.
Hmm, ternyata mereka tengah berburu kepompong.
"Hai!" Aku berhenti di depan pintu.  "Jangan dipetikin kepompongnya."
"Kenapa Mi?"
"Biarkan dia di daun, nanti kalau sudah waktunya, yang putih-putih di dalamnya itu akan jadi kupu-kupu."
"Kupu-kupu, Mi?" mereka seolah tak percaya. Mungkin tak masuk di akal mereka bagaimana bisa sebuah kepompong menjadi kupu-kupu.
"Iya, kepompong itu berasal dari ulat.  Ulatnya makan yang banyak, trus dia puasa.  Nah selama puasa dia berdiam di dalam daun kayak gitu sebagai kepompong. Nanti, kalau sudah waktunya, dia akan keluar menjadi kupu-kupu." Aku memandangi raut mereka yang sepertidnya bengong.
"Emm, kayak yang pernah kita tonton di Upin-Ipin itu..." aku mengingatkan.
"Oh, iyya!" seketika mereka berseru girang.  Sepertinya mereka merasa tercerahkan, hehe.
Siang itu menjadi kenangku tentang pembelajaran metamorfosis pada anak usia dini. :)

#Fragmen 2#
Malam itu, kedua jagoanku ikut menjemputku  ke kampus. Irsyad yang membonceng di tengah sibuk berceloteh tentang apa saja.  Aku memeluknya sambil sesekali menciumi rambut wanginya.  Aku tahu dia senang diperlakukan begitu.
"Ummi," Dia memainkan jari tangannya, "Mas sudah tahu kalau kayak gini itu tiga." Dia mengacungkan jari telunjuk, jari tengah dan jari manisnya. Aku tertawa dan memujinya.
Bukan hal yang baru dia bicara begitu.  Sudah sering kali dia membuat bermacam-macam tiga dengan jari tangannya.  Tapi tetap saja aku merasa perlu menghargai kreativitasnya.
"Ummi, kayak gini juga tiga," Diacungkannya jadi telunjuk, tengah dan kelingkingnya. Aku mendekapnya.
"Kayak gini juga tiga," Kali ini dia membuat kombinasi tiga dari jempol, telunjuk dan kelingking.
"Trus begini juga tiga," Dibuatnya formasi yang lain.
Kali ini aku tak bisa menahan kekagumanku.
"Mas hebat, pinter!" Dia tersenyum.
"Nah, sekarang Mas sudah tahu bahwa tiga itu bisa dibuat dari berbagai kombinasi jari. Coba kita hitung ya, ada berapa kombinasi yang mungkin. Pertama begini, trus begini, trus begini juga tiga, habis itu begini...
Jumlahnya bisa dihitung dengan faktorial " Aku menghentikan ucapanku melihat dia cuma melongo. Lalu tersenyum mengingat usianya yang baru empat tahun.
Akhirnya aku cuma berujar,"Nah, yang tadi itu namanya kombinasi jari!"
Wooww, dalam hati aku nyengir sendiri. Anak ini mengaplikasikan materi kombinasi (salah satu materi matematika di level SMP dan SMA) di usia 4 tahunnya.  Dan aku tidak mengajarinya.  Dia menemukan sendiri.

Dari sekian banyak aktivitas dan kreatifitas anak-anak kita, merupakan aplikasi dari berbagai topik pembelajaran yang pernah kita jumpai di berbagai level sekolah.  Seperti dua topik di atas.  Kalau dilihat dari teori pembelajaran, model pembelajaran seperti itu dikatakan sebagai discovery learning atau model belajar penemuan.

Teori belajar ini dikembangkan oleh Bruner, seorang ahli psikologi perkembangan dan ahli psikologi belajar kognitif.  Menurut Teori Bruner, anak tumbuh melalui tahapan-tahapan yang berbeda yang didasarkan pada penampilan mentalnya.
Adapun 3 tahap itu adalah:
1. tahap penampilan mental enaktif dimana anak mengembangkan keterampilan sensori motorik.
2. tahap penampilan ikonik dimana mental anak dipengaruhi oleh persepsi yang sifatnya egosentris dan tidak stabil.
3. tahap simbolik dimana anak mencapai pengembangan keterampilan berbahasa dan kemampuan mengaitkan dunia luar dengan kata-kata dan idenya.

Menurut Bruner, sejak kecil, anak sebenarnya sudah dapat menangkap konsep-konsep IPA. Misalnya, apabila seorang anak diberi tahu bahwa api itu panas, kemungkinan besar dia akan segera lupa atau tidak peduli.  Tetapi ketika suatu ketika anak memeagang api dan merasakan panasnya, kemungkinan besar, dia akan terus mengingatnya.

Model discovery learning dapat dipandang sebagai suatu proses belajar yang terjadi apabila siswa (anak) tidak dijejali dengan konsep, melainkan dia sendiri yang mengelola nformasi sehingga menemukan konsep tersebut.  Pembelajaran dengan model ini akan lebih mudah diingat oleh anak dan informasinya akan disimpan lebih lama.  Pembelajaran berdasarkan penemuan akan lebih meningkatkan penalaran, mengembangkan kemampuan anak untuk berpikir secara bebas dan menumbuhkan kemandirian anak dalam belajar. Model penemuan ini juga dapat mengubah motivasi belajar pencarian pujian dari luar (motivasi ekstrinsik) ke kepuasan batin (motivasi intrinsik).

Pada model discovery learning ini, guru atau orang tua  berperan sebagai guide (penuntun dan pengarah) bagi siswa/anak yang mencari informasi, jadi bukan sebagai pemberi informasi.  Walaupun mungkin cara belajar ini butuh waktu agak lama dan sedikit ribet (karena harus mengarahkan anak ke arah yang benar), tetapi banyak pendapat yang menyatakan bahwa model ini banyak dirujuk dalam pembelajaran.

Referensi: Rokiyah & Ketut Budiastra, 2013, Teori Belajar dalam Pembelajaran IPA di SD