Jumat, 07 Desember 2018

Review on: Kuda Terbang Pelepah Pisang

Membaca judulnya, membuat pikiranku melayang ke beberapa dekade lalu. Di pelupuk mata, berkelebatan momen-momen manis saat bermain segala macam permainan anak desa zaman dulu, yang mungkin tidak dikenal oleh anak-anak zaman now. Sebut saja, main benteng, lompat tali, engklek, patok lele, ular naga, pasar-pasaran, congklak, egrang, sumputan, main kelerang segitiga, tangguhan, bekel, pangkahan biji karet, main hadang atawa gobak sodor, dan berbagai mainan lain yang dimainkan bersama dengan sepupu yang sebaya, atau teman-teman tetangga.

Masa kanak-kanak saat itu, saya tinggal di sebuah desa di pelosok Sumatera. Di sebuah rumah panggung dengan pohon-pohon pisang berjajar di ujung halaman depan rumah yang berbatasan dengan jalan raya. Permainan kuda-kudaan dengan pedang atau senapan dari pelepah pisang biasa kami lakukan, terutama kalau nenek sedang membuat macam-macam kue dari tepung yang dibungkus dengan daun pisang.
Pelepah pisangnya kami minta untuk bikin macam-macam kreasi, hehe...
Setelah capek main, kami makan kue buatan nenek yang rasanya sedaaap.

Maka, jari pun mengetikkan pesan untuk mengorder buku ini melalui penulisnya, Mbak Sri Widyastuti.

Buku ini mengulas dengan cukup lengkap berbagai permainan yang saya sebutkan di atas. Cerita- ceritanya bergulir manis, dilengkapi dengan sedikit ulasan sejarah dan cara memainkan permainan tersebut. Jadi, pembaca bisa memahami dan mencoba memerankan atau melakukan permainan yang dilakukan para tokoh dalam tiap-tiap cerita.

Buku ini, berisi 20 judul cerita yang ditulis oleh penulis dari berbagai daerah di Indonesia. Selain dapat mengenal berbagai permainan anak dari daerah lain, juga dapat menambah wawasan pembaca. Setiap cerita juga dilengkapi ilustrasi sehingga memberi variasi dan visualisasi tentang permainan yang diceritakan.

Menurut saya, buku ini menarik. Saking menariknya, buku ini sudah berpindah ke rumah tetangga terlebih dahulu sebelum sampai ke tangan saya, selaku pemesannya, hehe... 
Sepertinya, anak-anak saya yang waktu itu menerima paketan, langsung membukanya dan tak sabar untuk menikmati isinya.

Hal yang mungkin menjadi -kelemahan (kalau boleh disebut begitu)- dari buku ini adalah ada beberapa permainan yang ditulis oleh beberapa penulis dengan versi yang berbeda.  Mungkin akan lebih baik jika penyuntingnya lebih selektif lagi dalam memilih naskah, sehingga 20 judul bisa mewakili 20 jenis permainan yang berbeda (maunya pembaca nih, hehe...). Namun, jika ada pertimbangan tersendiri, yaa... selaku pembaca, kita nikmati saja. Iya kan?

Over all... bukunya bagus, kontennya aman buat anak, keceriaannya khas anak dan bahasanya mudah dicerna. Recommended buat yang mau nambah koleksi bacaan anak di rumah.


Piyungan Bantul, 07 Des 18

Selasa, 02 Oktober 2018

8 Prinsip Pendidikan Anak

Kemarin, sepulang dari lab dan melepas atribut, aku menuju dapur dan menemukan sebuah buku tergeletak di dekat tumpukan belanjaan. Dua ikat kangkung, dua potong tempe, seplastik ubi jalar, sekantong kopi dan sebuah buku. Walau letih, dan sendi dan tulang terasa kaku, tanganku tetap terjulur meraih buku itu. membaca judul dan daftar isinya sekilas, lalu melemparkan tanya pada si Kakak yang asyik di depan laptop.

"Buku siapa Kak?"

"Nggak tau, Mi. Sudah ada di situ dari Kakak pulang sekolah tadi."

Aku mengangguk. Mungkin si Abah yang punya buku. Tadi pagi sebelum mengantar ke kampus memang sempat menyoalkan buku manajemen pendidikan. Etapi, ini buku malah bahasannya tidak sinkron, walaupun masih bertema pendidikan.
Judulnya menarik: Melukis Jiwa Sang Buah Hati: Mencetak Anak Cerdas, Taqwa dan Santun kepada Orang Tua

Di tulisan ini, aku ingin berbagi sedikit point yang dikupas dalam buku itu, yaitu tentang prinsip pendidikan anak.

Sebenarnya, ada banyak point yang perlu diperhatikan dalam pendidikan anak. Mendidik anak, bukan sejak anak masuk sekolah, namun jauh sebelum itu. Pendidikan anak itu sendiri sebetulnya sudah dimulai seorang (calon) ayah memilihkan calon ibu untuk anak-anaknya.

Anak adalah buah hati. Anak adalah amanah. Pendidikan anak, menjadi amanah penting bagi kedua orang tuanya. Terutama bagi kaum ayah. Salah besar jika kaum ayah beranggapan bahwa pendidikan anak adalah tanggung jawab ibunya dan menyerahkan ke sang ibu tanpa pernah mau peduli dengan urusan anak. Lebih salah lagi, ketika kedua orang tua menyerahkan bulat-bulat pendidikan anak ke sekolah, dan kemudian berlepas tangan. Merasa tidak perlu campur tangan karena sudah memberikan sejumlah nominal sebagai pembayaran. Na'udzubillahi min dzaalik.

Ada 8 prinsip penting dalam pendidikan anak.
Yang pertama adalah  keteladanan
Anak adalah peniru ulung. Mereka akan merekam kejadian dan perilaku orang-orang dekatnya dan akan menduplikasinya. Maka, orang tua perlu menjadi teladan dalam banyak hal kebaikan, sehingga bisa menjadi role model bagi anak.

Yang kedua adalah pembiasaan
Perbuatan baik, sebaiknya dibiasakan sejak dini. Sesuatu yang sudah dibiasakan akan terasa ringan dikerjakan, bahkan bisa menjadi tabiat/akhlak keseharian. Mengucapkan salam, mendekatkan anak ke masjid, membiasakan bangun pagi, bersedekah, berkata jujur, menjaga kebersihan dan banyak hal baik lainnya. Memang, butuh waktu dan effort lebih untuk menjadikan berbagai perbuatan baik menjadi biasa. Namun, insya Allah perjuangan orang tua dalam mendekatkan anak pada kebaikan akan dibalas berlipat ganda.

Yang ketiga adalah kasih sayang
Jalinan kasih sayang dari orang tua kepada anaknya memang tulus. Tak ada orang tua yang tidak sayang pada anaknya. Namun, tidak semua anak merasa mendapatkan kasih sayang yang cukup dari orang tua. Sering kali, orang tua mengekspresikan kasih sayangnya dengan tolok ukur pikiran dan perasaannya sendiri, bukan seperti yang diinginkan oleh anak.
Beberapa bentuk kasih sayang diantaranya adalah perhatian, komunikasi, penerimaan anak apa adanya, dan sikap mau memaafkan dari orang tua kepada anaknya.

Selanjutnya adalah penghargaan
Anak yang mendapat pujian ketika ia berhasil dengan sesuatu, ia akan tersanjung. Pujian itu ibarat pupuk dan motivasi sehingga  memberikan semangat untuk berkembang. Memuji mungkin akan lebih mudah bagi kita. Namun ketika anak melakukan kesalahan, akan lebih baik jika kita menghindari celaan. Marilah kita fokus pada keberhasilannya, dan mengapresiasinya. Menurut penulis buku ini, salah satu penyebab anak menjadi nakal atau bandel adalah karena tidak mendapat pengakuan dan penghargaan, sehingga anak berusaha menarik perhatian orang lain, walaupun dengan menunjukkan sikap yang negatif.

Yang kelima adalah memupuk keberanian
Pada dasarnya, Allah telah memberikan sikap pemberani kepada manusia. Pengalaman selama perjalanan hidup, sikap orang tua dan lingkungan sekitarlah yang akan mengubah seorang anak menjadi lebih berani, atau lebih penakut. Keberanian dapat ditumbuhkan dengan memberikan pengalaman pada kegiatan-kegiatan yang menantang. Misalnya, menjelajah, perlombaan, menyampaikan pendapat, tampil di pentas dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan seperti ini akan dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan keberanian anak.

Yang ke enam adalah memilih pendidik yang benar
Peranan pendidik sangat dominan, terutama di kalangan anak yang mengalami krisis kepercayaan terhadap orang tuanya. Pada fase tertentu dalam usia sekolahnya, anak menjadi lebih penurut terhadap gurunya dibandingkan dengan orang tuanya. Oleh karenanya, dalam menitipkan anak hendaknya mencari pendidik yang bagus imannya, benar ibadahnya, berakhlak yang bagus, penyayang, dan berwawasan luas.

Selanjutnya yang ketujuh adalah memprioritaskan aqidah
Skala prioritas pendidikan terkait dengan tujuan, harapan, dan obsesi orang tua terhadap anaknya. Namun yang perlu diingat kembali  bahwa tugas orang tua utamanya kepala keluarga adalah menjaga diri dan keluarganya dari api neraka. Oleh sebab itu, prioritas pendidikan anak adalah penanaman aqidah yang kuat, kesungguhan beribadah, serta pendalaman Al Quran dan As Sunnah.

Yang terakhir adalah mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran
Dalam Surat Ali Imron ayat 104 Allah swt berfirman:
"Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan mereka-lah orang-orang yang beruntung."
Kemungkaran atau pelanggaran syar'i harus ditanggulangi dengan jalan menunjukkan kepada anak bahwa itu adalah suatu kemungkaran. Jangan dibiarkan, walaupun anak belum lagi paham. Jika melarang sesuatu berilah alternatif yang lebih baik dan tunjukkan alasannya. Luruskan kesalahan anak sebatas kemampuan kita dengan cara dan pendekatan yang lembut.

Anak adalah ibarat kertas putih yang belum terisi. Kitalah yang mengisi jiwanya, sehingga bisa terwarnai dan merekam celupan fitrah dari Rabb-nya. Orang tua berperan sangat besar, Semoga Allah senantiasa memberi petunjuk dan kesabaran pada kita dalam mendidik mereka.
Allahu a'lam bishshowaab.


Piyungan, 021018

Selasa, 24 Juli 2018

TANDEM: Mengapa dan Bagaimana?

Hasil gambar untuk tandem
Sumber: google.com

Disclaimer: Tulisan ini tidak bermaksud menggurui atau melebihkan diri. Hanya sharing, jika kondisi teman-teman kebetulan serupa atau mirip dengan kondisiku, namun punya keinginan untuk tetap menunaikan hak penyusuan anak.

Beberapa waktu lalu, pernah dijapri seorang teman sekelas. Beliau minta tips menyusui tandem.
Nah, berhubung waktu itu lagi safar dari mudik, jadi dipending. Akhirnya terendapkan lama.
Dan karena beberapa alasan harus safar-safar lagi, jadi belum kepegang juga.

Malam ini, tadi, habis ngopi jadi agak belum ngantuk. Kompensasinya, aku mencoba produktif. Mudah-mudahan bisa berbagi manfaat dari pengalaman yang ada.


Setelah kupikir-pikir, ternyata dari 10 tahun perjalanan pernikahan, 8 tahun kehidupan pernikahan di 10 tahun pertama itu kujalani sebagai bumil-busui, hehe. Siklusnya hamil-melahirkan-menyusui-hamil-melahirkan-menyusui-hamil-melahirkan-menyusui-hamil-melahirkan-menyusui, ahaha...

Jadi ceritanya, Aku punya anak di tahun pertama pernikahan. Setelah selesai nifas langsung hamil anak kedua. Setelah si nomer dua lulus ASIX, hamil anak ke-3, dst. Hingga akhirnya di tahun ke-6 punya 4 anak. Produktif banget yak, ahaha...

Maka menjadilah aku dan paksu ortu yang punya 4 balita, haha... dimana masa itu adalah masa yang heboh banget dan penuh keseruan (seru kalo diingat, pas ngejalaninnya sih kadang lelah juga, Mak).
Tapi aku bukan mau cerita tentang itu. Kalau yang itu kan sudah pernah aku tulis.
Silakan baca 
di sini.

Kali ini aku mau sharing tentang tips ngASI-in itu anak-anak yang basusun paku, hehe..

Jujur, anak pertamaku, gak lulus ASIX. Bukan karena anaknya bermasalah. Tapi karena emaknya bodoh dan pasrah. Selain itu, emak juga sudah isi calon debay dan mulai mabok parah hingga bulan ke-6 kehamilan. Jadi, kondisinya lemes dan lemes.

Si Kakak Aya Sholihah, nyusunya males. Tapi emaknya juga gak kelakonan untuk memberikan hak terbaiknya. Jadi, kalo anaknya males, emaknya males-malesan juga. Malah kepikiran buat ngasih sufor di usia sebelum 6 bulannya. Si Kakak ni, ASIX nya cuma sampai 4 bulan-an. Habis itu, dia pernah nyobain sufor yang Alhamdulillah-nya, gak bisa diterima sama perutnya, bahkan dia muntahkan. Habis itu dia ngASI dikombinasi sama air madu. Bener, di usia 5 bulan dia minum madu yang dikocok dengan air zamzam.

Sebulan pertama, kantong si Abi, masih oke dengan beliin air zamzam khusus buat putrinya ngedot. Lama-lama pertahanan jebol, karena selain minumnya kenceng, nih anak pipisnya juga kenceng, hehe. Kebayang dong berapa duit kebuang buat beliin pospak. Sehari dia pake pospak 5-8, kadang lebih. Walo begitu, diladenin juga, namanya juga anak pertama.

Lama-lama, karena anggaran meningkat, gak lagi pake air zamzam buat madunya. Tapi pakai air kemasan bermerk, ehehe... Terus, turun lagi, sampai akhirnya di usia 8 bulan minumnya sama kayak emak-abinya, pakai air galon. 

Unfortunately, saat itu, emak harus berangkat ke Yogya buat belajar.
Jadilah, si kakak ditinggal sama Abi dan bude untuk sementara, sampai kondisi memungkinkan untuk dibawa.


Nah, sekitar 2 minggu setelah si Adek Icad lahir, si Kakak dianter sama bude ke Yogya dan akhirnya kita ngumpul lagi. Awalnya, dia masih setia dengan dot dan madunya. Lama-lama, Ummi merasa bersalah, karena si Kakak ini tidak tertunaikan haknya. Apalagi, saat punya adek, dia usianya baru 13 bulan. Maka, Ummi nawarin dia untuk mimik ASI lagi bareng si Adek. Dia sih kadang mau, kadang enggak. Mungkin sudah ngerasa nyaman dengan madu yang rasanya manis, ketimbang ASI yang rasanya tawar.
Tapi kadang, dia mau juga mimik bareng Adek yang selalu semangat, kalo Ummi ada di rumah. Nempel sama Ummi memang hobinya Adek. Sambil mik ASI maksudnya.

Ceritanya, Ummi kan sekolah. Jadi si Adek kalo ditinggal ke kampus, dibekalin ASIP yang disimpan di icebox . Waktu itu, bener-bener prihatin lah hidup. Benar, belajarnya disubsidi. Tapi uang bulanannya sering telat dan kadang harus nombok dulu, hiks. Nah, selama 6 bulan pertama kehidupan Adek, ya begitulah. Adek ASIX, kakak nebeng ASInya adik, walaupun tidak full.


Qodarulloh, di bulan ke-7 usia Adek Icad, Umminya isi lagi. Gak sadar sih waktu itu. Malah ijin sama Pak Dosen buat mudik ke Palembang. Nge-bis 2 hari-2 malam. Eh tau-tau pulang mudik itu maboknya gak ilang-ilang. Kirain mabok perjalanan, ternyata mabok karena sudah isi 8 minggu, hihi...Tapi alhamdulillah, Adek Icad sudah lulus ASIX, jadi sudah bisa minum yang lain. Dia juga menolak sufor, sama kayak si kakak. Dia sukanya air putih dan jus jambu.

Nah, lepas mabok di trimester pertama, emak tetap nyusuin itu anak berdua. Pikir emak, itu kan memang masih hak mereka. Alhamdulillahnya, walaupun nyusuin tetap lanjut, gak ada efek ikutan seperti kontraksi atau flek seperti pas kehamilan Dek Icad. Jadi, memang aman-aman saja.
Saat itu, emak menyusui tandem sampai masuk usia kehamilan 8 bulan. Sempat stop sebulan hingga melahirkan Dek Umar, karena khawatir kontraksi ikutan plus khawatir juga Dek Umar lahir maju dari ha-pe-el, secara waktu itu hitung-hitungan Emak, kerja lab masih belum rampung.


Ternyata, apa yang dikhawatirkan emak terbukti juga. Hari pertemuan dengan Dek Umar, maju 2 pekan dari perkiraan, dimana saat itu, kerjaan lab sedang di puncaknya. Terpaksa deh, dari Lab pindah ke Rumah Bersalin.

Si Adek Umar ini, bayinya tipe anteng. Kerjanya tidur saja dan malas nyusu kayak si Kakak. Sementara si Ummi orangnya produktif (sudah keliatan dari jumlah dan komposisi anaknya, haha..). Sepanjang hari meringis, karena ASInya gak diminum si baby, bahkan sempat mastitis. Akhirnya si Kakak dan Dek Icad ditawarin buat minum ASI lagi. Bisa ditebak, Dek Icad yang kini sudah jadi Mas Icad, seneng dong. Si Kakak juga mau, tapi miknya pake gelas. 

Karena Dek Umar ini doyan tidur dan sering tersedak, biasanya, emak nawarin PDnya ke Mas Icad dulu. Setelah lunak, baru disusukan ke Dek Umar. Jadi, biasanya, kalo emak nyusui Dek Umar yang males-malesan, PD yang satu lagi ASInya diperah atau ditampung buat si Kakak.
Begitu juga dulu pas Dek Utsman lahir. Rasanya seru-seru sedap gitu, hehe. Tapi, itu kalau di rumah ya.


Nah, masalahnya adalah, Dek Umar lahir di saat kerja lab Ummi belum lagi kelar. Jadi, usia 3 minggu, si Adek ini sudah dibawa ngampus. Terus, mereka bertiga, berempat dengan Abinya nungguin Ummi di mushola atau masjid kampus. Kadang di musholah MIPA, kadang di masjid Mardhiyyah UGM, kadang juga di Maskam. Sementara Ummi kerja di lab, si Adek dibekali ASIP juga, yang perahan pagi. 

Jam break dhuha, Ummi biasanya merah ASI lagi buat diminum Adek di sesi siang. Kan kalo di suhu ruang, ASIP bisa bertahan 6 jam. Sementara kalau break siang, kita ketemuan karena waktu breaknya kan cukup panjang. Bisa sholat, makan dan nyusui.
Nah, kalo Dek Umar gak minta ASI sampai saat Ummi pulang nge-lab, ASIPnya diminum Mas Icad sama Kakak Aya. 
(Ahaha... geli sendiri aku mengingatnya. What a wonderfull moment...:)

Seperti aku sampaikan di awal tulisan ini, ini bukan buat bangga-banggaan atau keren-kerenan ya.
Iyya, mungkin ada yang pro, ada juga yang kontra. Tapi, waktu itu, perasaan bersalah karena kasus anak pertama itu sangat membekas. Cukup sekali dan jangan mengulang kesalahan yang sama pada anak yang lain.
Apalagi, waktu itu, Allah benar-benar baik, mencukupkan ASI buat anak-anak bertiga itu.
Padahal, emaknya bodynya masih seperti yang dulu. Naik signifikan sesuai standard itu cuma pas hamil Irsyad.


Jadi, aku gak menyarankan juga, kalo kalian di posisi yang kebetulan mirip, untuk melakukan hal serupa. Karena, kondisi tiap orang tidak sama.
Kalau aku, dulu itu, alhamdulillah banget disupport sama suami. Habis lahiran Umar itu, aku benar-benar gak pusing urusan dapur, sumur, kasur. Tapi ya mikirin itu, ngASI sama tehSIS, ahaha...


Tapi, kalo mau nyoba juga, ini beberapa tips, biar bisa produktif, insya Allah.

Pertama, niatkan karena Allah, jadi bernilai ibadah.

Kedua, yakin. 

Menyusui itu harus yakin. Yakin dengan pertolongan Allah. Yakin kalo ASInya bakal cukup. Ini akan mempengaruhi sistem syaraf pusat dan menstimulasi produksi ASI. Yakin juga dengan kemampuan Bunda. Gak perlu minder dengan ukuran cup-bra. Produksi ASI tergantung pada ukuran PD, itu mitos. Banyak kok perempuan yang PDnya kecil, tapi ASI buat anaknya tercukupi.

Ketiga, lakukan dengan senang hati, ikhlas. Karena suasana hati ibu akan mempengaruhi produksi ASI. Kalo ibu senang, happy, bahagia, insya Allah ASInya banyak. Kalo ibu stress, sedih, ya ASInya macet, hehe.

Keempat, manfaatkan LDR.
LDR disini bukan Long Distance Relationship yaa, tapi Let Down Refleks. Jadi, busui itu kan kadang, tiba-tiba ASInya ngaliiirrr saja sampai tumpah-tumpah, padahal lagi gak diapa-apain. Itulah LDR. 

Nah, kalo aku ngakalin LDRnya ini pas waktu merah ASI. Aku ngebayangin tengah menyusui sambil memandang wajah anak-anak yang bikin hati sejuk. Daaannn... Currr... itu ASInya bisa tiba-tiba mancur. Kadang sekali merah bisa dapet 2 botol dot loh, hehe. Btw, aku merah pake tangan yah, enggak pake pump. Jaman itu gak kebeli benda-benda begitu. Status mahasiswa subsidi, bener-bener prihatin. 

Kelima, minum air putih hangat atau jus buah sebelum menyusui atau merah ASI. Buatku, ini bisa menambah volume ASI. Habis menyusui atau merah ASI, minum lagi 1-2 gelas plus makan. Laper Mak, habis disedot.

Keenam, mengonsumsi sayur dan buah booster ASI.
Ada banyak sayur dan buah buat boster ASI. Silakan googling dan pilih sesukanya. Kalau dulu, menu harianku sampai si Adek Umar usia hampir 2 bulan adalah sayur bening bayam/katuk, tahu atau tempe goreng, plus marning kalo di rumah. Tahu kan marning? Jagung yang digoreng kering itu. Ibu mertuaku dulu bawain jauh-jauh dari Rembang. Sayang kalo gak dimakan. Padahal, dulu, aku juga belum tahu apa benar marning itu terbukti sebagai booster ASI. 
Nah, kalau pas jajan sendiri di kantin kampus, menunya nasi pecel plus ikan bandeng dan tempe goreng. Minumnya jus jambu, hehe, nyesuaikan kantong mahasiswa.

Ketujuh, menyusui sampai PD benar-benar terasa kosong dan bergantian. Jadi akan segera terisi lagi. Kadang kalo PD penuh, aku kosongin dulu sebelah (diperah), dan yang sebelahnya disusukan ke bayi. Nanti pas menyusui kan akan diproduksi lagi. Nah, yang produksi ketika nyusui, ini bisa buat tandemannya.

Sebagai catatan juga, jika kehamilan bermasalah, sebaiknya tidak menyusui ketika hamil. Untuk hal ini silakan berkonsultasi dengan dokter masing-masing.


Allahu a'lam bisshowab.
Semoga bermanfaat.
Mahallah Asiah UIA, 23/07/18

Selasa, 17 Juli 2018

8 Point Penting dalam Mendidik Anak

Setiap orang tua, pasti punya target terhadap anak-anaknya. Baik anak sendiri, maupun anak titipan yang harus berada dalam pengawasan atau pendampingannya. Misalnya, anak murid, anak asuh, keponakan, anak tetangga, dan sejenisnya.

Mendidik anak, bukan perkara sepele. Tentu saja, karena proses pendidikan anak-anak dalam Islam adalah merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya menyelamatkan keluarga dari api neraka. Masih ingat kan surat dan ayat berapa?
Tul, At-Tahrim ayat 6.

Jika kita mengilas balik perjalanan kehidupan manusia, kita akan paham bahwa keimanan dan ketaqwaan itu tidak diwariskan. Lihatlah pada kisah beberapa manusia pilihan. Sebagian dari mereka, ada yang anaknya tidak termasuk golongan yang beruntung, padahal ayahnya adalah orang yang menjadi penyampai risalah.

Bertahun lalu, dalam sebuah kunjungan ke sebuah institusi pendidikan di Batam, saya menemukan tulisan bagus ini. Saya lupa dalam kunjungan apa (entah supervisi, tutorial, promosi atau mengajar) dan di unit mana. Tulisan ini dicetakkan di tembok dekat tangga kantor ruang guru. Jadi sekalian reminder kali yah buat para pendidik di sana, biar tetap bisa mengontrol diri dalam perjuangan mendidik anak.

Isi tulisan itu adalah 8 point yang harus diingat oleh pendidik dalam menjalan tugasnya. Apa saja?

Yang pertama adalah IKHLAS
Mendidik anak (siapapun) haruslah ikhlas. Jangan menganggap tugas mendidik ini sebagai beban. Walaupun aslinya tugas mendidik itu dibebankan pada ayah, namun di rumah pelaksananya umumnya adalah ibu. Jika ada sesuatu yang buruk "nempel" pada anak, orang-orang juga akan menuding ibunya.

'Ih... anak ini kok.... banget, Emaknya nggak ngajarin apa ya?'

'Ini anak kok kurang .... ya? Gak diajarin apa sama ibunya?"

Tuuh kan, ibu lagi... ibu lagi...
Padahal si anak juga milik Bapaknya. Heuheu...

Kalau menurut aku, ikhlas ini penting banget loh. Karena keikhlasan akan meringankan langkah-langkah kita dalam setiap kerja yang dilakukan. Juga menurunkan potensi stress dan konflik.

Yang kedua DOA
Doa itu permohonan, dan bagian dari ibadah. Doa ibu untuk anaknya adalah doa yang mustajab. Maka, setiap ibu hendaklah berhati-hati dengan ucapannya. Karena, mungkin tanpa disadari, ucapan itu menjadi doa yang menembus langit, disimpan oleh Yang Di Atas dan akan di"hadiah"kan kembali kepada si pendoa, khususnya ibu.
Ingat kisah Malin Kundang, kaan?
Ingat juga kisah Syaikh Suddais?
Sangat mungkin, itu semua adalah buah doa dari lisan seorang ibu.

Doa juga mempunyai kekuatan untuk menolak takdir.
Saya selalu mengingat petuah dari Kepsek saya saat mengajar di sebuah sekolah Islam bertahun lalu. Ketika kami, para guru sering mengeluh dan kewalahan dengan tingkah polah anak-anak yang naudzubillah...
Beliau menjawab, "Doakan, doakan dengan sepenuh hati. Sebut namanya dalam lantunan doa-doa ibu-bapak. Sesungguhnya Allah-lah yang menggenggam hati-hati mereka."

Pikir-pikir, yaa.. begitulah.
Manusia hanya berusaha, Allah-lah yang membolak-balik hati.
Bukan hanya hati anak-anak/anak didik kita, bahkan hati kita sendiri.
Selalu fluktuatif, naik dan turun, yazid wa yankus.
Makanya, suami juga selalu mengingatkan, agar istiqomah dengan doa "Yaa Muqallibal quluub, tsabbit quluubana 'alaa diinik."

Yang ketiga SABAR
Sabar ini, ringan di lisan namun berat dijalankan. Huhu...
Apalagi, katanya, sabar itu tiada batasnya... Hiks
Padahal, sabar jugaaa... yang selalu digandengkan dengan syukur, digandengkan dengan sholat.
Jadikan sabar dan sholat sebagai penolongmu. Ketika dapat ujian, banyaklah bersabar, sambil tetap bersyukur.

Ngomong memang enak, prakteknya... tak se-enak ngomongnya.
Nah, dalam mendidik anak pun demikian. Perlu mengedepankan kesabaran.
Pendidikan adalah kerja sepanjang hayat, bukan sekedar usia sekolah.
Pendidikan, hasilnya tidak bisa dilihat sekejap mata, sebulan, enam bulan, tiga tahun..
Bukaann...Bukan proses instant.
Ngajarin bayi bisa nyusu dengan benar saja, butuh waktu. Apalagi mendidik anak supaya jadi baik dan aqidahnya lurus. Iya apa iya?

Saya teringat dengan ucapan suami, ketika suatu hari kami menjemput anak-anak dari sekolahnya. Si Bapak ini yang sekarang menghandle semua urusan anak-anak, bilang ke saya.
"Tadi, sempat dengar kajian dari ustadz-entah tentang sabar dalam mendidik anak. Yang harus dilakukan orang tua adalah bersabar, dan jangan menyerah. Karena kita tidak tahu melalui usaha kita yang mana, kelak anak itu akan berubah. Kapan dia akan berubah. Tetap optimis, sabar dan kencengin doa."
Saya manggut-manut.
Padahal, waktu itu, di perjalanan dari bandara ke rumah, dia baru saja curhat tentang turunnya kedisiplinan anak-anak dalam sholat dan muroja'ah. 
Yaa.. gitu deh. Alhamdulillah diingatkan. Selanjutnya, beliau mengingatkan saya untuk berhati-hati kalau berbicara, seperti point yang selanjutnya ini.

Yang keempat JAGA LISAN
Menjaga lisan, pentiiingg... banget. 
Selain terkait dengan point nomer 2, yaitu DOA, hal ini juga berkaitan dengan komponen penyusun tubuh. Kalau menurut pelajaran biologi, 80% dari tubuh manusia, itu adalah air. Nah, air ini, menurut penelitiannya Masaru Emoto (Kalau gak salah namanya itu), bisa membentuk kristal yang cantik, kalo diafirmasi positif. Maksudnya, kalo kita ngomongnya baik, sopan, bagus, kristal airnya cantik. Berlaku juga sebaliknya.

Ucapan yang baik, akan direspon oleh tubuh dengan baik. Sebaliknya ucapan yang kurang baik, akan masuk ke memori bawah sadar dan suatu ketika akan dikeluarkan melalui koordinasi otot tubuh menjadi perilaku. Begitu riset Dr. Asiah Dahlan.

Jadi, ngomong yang baik, dengan intonasi yang baik, dan cara yang baik. Hehe...
Mau contoh?

Misal nih yaa... Kejadian umum nih kalo di rumahku.
Si Emak lagi ngepel. Hehe... Masih belum kelar, lantai masih basah. 
Tiba-tiba, anak bujang dari luar nyelonong masuk sambil ngucap salam dengan kenceng. Padahal dia tadi habis main tanah dan siram-siram di depan rumah. Mana belum nyuci kaki dan tangan pula...hiks

Reaksi Emak apa? 
Ngomel? 
Ahahaha...
Biasanya sih kita, "Astahgfirulloooohhh... Masuk rumah gak cuci kaki? Gak tengok ini emaknya lagi apa? Tengok tuh lantainya jadi kotor lagi. Kamu apa gak punya....bla..bla..(lanjutin sendiri)"

Coba deh kita perhatikan.
Astaghfirulloh itu ucapan apa? Istighfar kan? Artinya kita minta ampun sama Allah.
Tapi coba bayangkan, nadanya bagaimana? Yang seharusnya bagaimana?
Masa kita minta ampun nadanya marah-marah, hehe..
Kira-kira nyaman gak ya? 
Yuuk evaluasi bersama.
Bagaimana kalo diubah?
Emang bisa? 
Bisa!

Yang kelima JAGA PERILAKU
Pasti semua tahu kan, kalau anak adalah peniru ulung dari model di sekitarnya. Nah model yang paling dekat dan sering dilihat anak adalah kedua orang tuanya.
Disadari atau tidak, mereka melihat, mendengar, merekam dan meniru apa yang dilakukan orang tuanya.
Jujur, saya dulu sering nyengir sendiri kalo dengar dan lihat gaya si Kakak ngomelin adik-adiknya. Persis gaya saya, hiks

Habis itu saya ngaca, istighfar dan mulai mengubah diri.
Asli, saya takut. Bahkan, kecemasan saya pun kadang diadaptasi oleh salah satu anak.

Jadi, saya sering sekali menekankan ke anak-anak untuk berperilaku baik, menjaga adab.
Detilnya gimana? Silakan cari bagaimana adab-adab dalam Islam.

Yang keenam sampai delapan adalah JANGAN MARAH, JANGAN MARAH dan JANGAN MARAH
Kenapa tiga kali?
Yaa... memang tiga kali kan?
Tidak marah-marah dalam mendidik anak, ngomel dikit boleh. Upss, ya enggaklah.
Susah? Iyya susah karena hadiahnya surga.

'Laa taghdhob walakal jannah', Janganlah (engkau) marah, maka bagimu surga.

Saya, pernah dikomplain si Solih. "Ummi kalo pulang marah-marah saja kerjanya."
Mungkin dia shock. Biasanya, kalau sama Abi, ngobrol seperlunya, canda-canda, muroja'ah, dst. Paling-paling kalo negur, abinya langsung instruksi.
Kalo Emaknya, karena butuh menyalurkan 20 ribunya, kalimatnya jadi panjang berliku-liku. 

Nah, emak lupa kalo di rumahnya anaknya dominan jagoan, yang gak bisa ngimbangin semua obrolannya dan instruksinya si Emak. Jadi, kalo ngomong panjang-panjang dengannya, anaknya pusing, wkwkwk.

Tapi, karena dikomplain, emak ini juga akhirnya introspeksi.
Apakah memang kalo anak salah harus dimarahi?
Apakah anaknya paham kalo dia salah? Jangan-jangan karena dia belum tahu.
Apakah kalau anaknya sudah tahu, apa masalahnya bisa selesai dengan marah-marah?
Yang pasti, kita merasa tidak nyaman ketika dimarahi. Iya apa iya?

Maka, kadaang emak mencoba menempatkan diri di posisi anak, melihat dari sudut yang berbeda, sehingga bisa lebih legowo dengan kesalahan anak. Sepanjang itu bukan kesalahan yang fatal tentunya.

Begitu ya. Semoga bermanfaat.


Gombak, 17Juli2018

Ceritaku: PP (End)




25 Desember itu hari Jumat.
Makin resah sejak menginap gratis di klinik.
Keluarga juga sudah bolak-balik bertanya kapan si dedek akan launching.
Yaa... Kalau aku tahu, gak begini jalan ceritanya.

"Mas, cari dokter lain yuk."
"Kenapa?"
"Yaa, kali saja ada solusi lain.."
"Dimana?"
"Kita tanya-tanya dulu. E tapi, dekat perempatan Kentungan sebelah utara itu juga ada klinik. Besok pagi ke sana, ya?"
"Besok itu Sabtu."
"Terus..?"
"Kalau Sabtu mungkin tutup."
"Yaa, kali saja buka sampai Sabtu. Coba dulu lah... Ya?"

Sabtu pagi, kami jalan kaki ke klinik dimaksud. Dekat saja.
Jalanan sepi.
Daann... Tak ada dokter.
Mantab.
Akhir tahun mungkin memang jatah libur para dokter.

"Kaan?"
"Namanya juga usaha.." aku cemberut dengan komplainannya yang seolah menyalahkan.
Kami diam-diaman sepanjang jalan pulang.
Cuek-cuekan.
Dia singgah di Masjid.
"Aku ke Annida." Balik ke kamarku dan tergugu di sana. Annida itu nama asrama.

Terus terang aku khawatir dengan kondisi ini. Sudah lebih 43 minggu.
"Kamu lagi ngapain di sana, Dek? Kapan mau ketemu Ummi-Abi?" Aku mengajaknya bicara.
Lamaaa...

"Mbak-mbak... Permisi, pak Axxx mau masuk!" teriakan keras Mbak Eni, pengurus asrama membahana ke seantero pelosok kamar.

Terdengar suara sendal diseret, kaki yang melangkah cepat, pintu yang terburu ditutup dan teriakan 'bentaarrr...' lalu sepi. Para akhwat mencari perlindungan ternyaman di kamar masing-masing.


Aku menghapus sisa air mata. Terdengar ketukan dan salam di pintu, dan muncullah sosoknya.
Lelaki itu tetap dengan senyumnya.
"Nanti siang ikut jemput ibu, yuk?"
"Enggak ah, Mas saja yang pergi."
"Benar gak mau ikut?"
"Tunggu di sini saja."
Dia mengalah.


Saat dia pergi menjemput ibu, aku resah. Perasaanku bercampur aduk. Seperti apa rasanya melahirkan ditunggui mertua?
Sisi hatiku yang lain bersyukur. Ibu berkenan jauh-jauh datang menemani. Menempuh 8 jam lebih perjalanan antar provinsi, sendiri, demi menantunya. Ah, setidaknya, aku tak merasa sendiri.

26 berlalu...
27...
28...
Pagi.

Hari ini kami pergi ke klinik lain. Kemarin dapat saran dari bincang-bincang dengan ibu pemilik kost untuk menjumpai dokter ini di apotiknya.

Di apotik yang merangkap tempat praktek dokter, kami sabar mengantri. Dokter ini juga banyak pasiennya.
Namaku dipanggil ke ruang periksa. Kami menjumpai dokter yang sempurna menutup auratnya, jilbabnya panjang, namun tetap energik. Ramah.

Suami menceritakan riwayat kehamilanku. Sesekali aku menambahi penjelasannya.
Dokter mengangguk-angguk dan mengonfirmasi beberapa hal. Lalu bersiap memulai pemeriksaan.
Dengan cekatan dokter menghandle semuanya, sambil memberikan penjelasan.
"Ini bayinya kondisinya baik. Detak jantungnya bagus. Tapi di sini, ini plasentanya sudah putih-putih. Air ketuban juga sudah bercampur putih-putih ini. Harus segera dikeluarkan bayinya. Khawatir kalau nanti plasentanya sudah gak kuat, bisa beresiko. Insya Allah masih bisa normal. Kita usahakan, ya. Semoga Allah mudahkan."

"Ibu langsung di drop ke klinik ya, Pak... Barang-barangnya dibawa sekalian. Nanti sampai sana langsung masuk..Kita akan tangani segera." Dokter sigap memberi instruksi.

"Tasnya ditaruh dimana, Pak?" tanya asisten dokter.

Aku dan suami berpandangan.
Jreng...jreng...
Lupa bawa tas. Hahaha...

"O ya sudah, ibu diantar dulu ke klinik, nanti bapak bisa pulang ambil tasnya."

Membonceng sepeda motor ke klinik di Pakualaman.
Akhirnya terdampar di klinik yang berbeda. Manusia berencana, Allah juga yang menentukan.

Suntikan pertama sudah masuk. Sakit euy. Tak ada reaksi kontraksi. Cuma pegal-pegal saja di pinggang.
Apa aku terlalu rileks? Gara-gara baca buku hypnobirthing kali... Ahaha...

Tambah suntikan kedua setelah dhuhur. Tetap belum mulas..
Ya Allah, tolong mudahkan urusan ini.

Sore berganti malam. Baru pembukaan empat.
Kenapa mulesnya malah hilang?

Lagi aku mengajak yang di dalam bicara. Sambil merapal doa-doa.
Mau nangis, malu. Ada ibu mertua di situ.

*****

Aku terbangun dari tidur singkatku. Terdengar sedikit gaduh di luar kamar.
"Ada apa?"
"Kunjungan dokter," jawabnya singkat.
"Ooh.."

Dokter dan seorang asistennya masuk ke kamarku. Bertanya, mengecek dan berbicara sesuatu pada asistennnya. Aku menjalani saja semua perlakuannya. Pasrah.

Dokter menjelaskan pada suami yang rautnya mulai khawatir. Menenangkan dan menginstruksikan beberapa hal.
Aku mulai penat. Suami mengulurkan kurma yang dibawanya ketika kembali dari menjemput perlengkapan. Sekalian juga menjemput ibu yang memutuskan ikut berjaga di rumah sakit.
Satu suntikan telah ditambahkan tadi.

Kontraksi mulai terasa kembali. Sedikit lebih kuat.
"Ayo Nak, berjuanglah untuk pertemuan kita!" aku berteriak dalam hati.
Ibu masih berjaga dan memijiti kakiku. Tak banyak komentar atau nasihat melihat kondisiku. Dia, ibuku itu memang tak banyak bicara, berkebalikan dengan anaknya, suamiku.

Aku juga berusaha. Berusaha tak terlihat lemah. Hanya tarikan napas dan desahan lirih berbalut dzikir yang keluar dari lisanku.
Jaim. Ahaha..

Sepuluh... Sebelas... Dua belas...
Lelah...
Kuputuskan tidur saja. Sesekali terbangun ketika mulas datang menyapa.
Si Adek sedang berjuang.
Baiklah, kita berjuang bersama, bisikku.

Subuh tiba.
Aku memaksakan naik ke mushola di lantai tiga. Merangkai doa panjang untuk prosesi menegangkan ini. Melarutkan diri dalam dzikir supaya lebih rileks.

Bapak-ibu di kampung sudah dikabari, diminta maaf dan ridho serta doanya sejak kemarin.
Aku juga berwasiat pada suami beberapa hal yang menurutku penting.
Serasa menuju prosesi kematian, walaupun aku tak berharap itu terjadi.

Aku kembali ke bawah menuju kamarku. Menempuh jalan memutar biar sekalian jalan-jalan menikmati taman dan kolam air mancur di depan ruang rawat inap.
Lumayan menyejukkan.

Di kamar, kujumpai ibu, suami dan seorang asisten dokter yang sudah bersiap.
Cek lagi.
Aku menahan napas. Tegang.
"Delapan. Insya Allah sebentar lagi"
Aku memandangi wajah di depanku. Dia tersenyum menguatkan.
Aku meneguh-neguhkan hati. Insya Allah bisa.

Aku menunggu dalam dzikir, berusaha menikmati kontraksi demi kontraksi yang datang dan pergi. Menahan mulas. Menenangkan diri, sambil mengingat-ingat teori teknik mengedan yang benar seperti yang beberapa kali kubaca.
Kontraksi semakin intens frekuensinya. Aku menyesuaikan saja.

Perawat membawakan sebuah kursi roda. Aku diminta pindah ke ruang bersalin.
Aku memandangi saja. Ah, aku masih kuat jalan.
Kucium tangan ibu mertua, mohon doanya. Lalu tangan suamiku.
Seperti mau berangkat perang rasanya. Dan tak tahu, apakah bisa kembali pulang.

Direngkuhnya tubuhku dengan kedua tangannya. Ya Allah... Mau menitik rasanya air mata.
Gak boleh nangis, bentakku dalam hati. Cepat-cepat kudongakkan wajah. Melangkah menuju ruang tindakan dengan langkah ditegar-tegarkan. Hiks.

Sendirian aku ditinggalkan, menunggu dokter. Sepi.
Pintu terbuka. Dokter dan seorang asistennya masuk.
Menyusul suamiku dan...ibu.
Mereka diijinkan berada di ruang persalinan, menemani.
Alhamdulillah...

*****

Aku masih duduk menjuntai di tepi bed. Mengawasi suasana di ruang bersalin yang cukup luas.
Sedikit termotivasi. Waktunya sebentar lagi.
Tiba-tiba pengen ke kamar mandi. Mungkin karena nervous.
Perawat mengarahkanku ke ruang yang dimaksud.
Berjalan sendiri.
Melayani diri sendiri.

Kembali ke ruang bersalin, dokter menginstruksikan untuk bersiap. Kontraksi makin terasa kuat.
Kugigit saja bibir bawahku sambil melantunkan asma-Nya dalam hati.
"Di sini saja," Aku menggenggam tangan suami dan memaksanya tetap di sampingku.
Dia menuruti pintaku.

Dokter memberikan instruksi yang hanya kubalas dengan anggukan.
Terasa mulas yang sangat sangat. Belum boleh ngedan.
Ya Allah...
Kontraksi lagi, lagi dan lagi...
"Allahu akbar!", aku bertakbir.

Bisakah kau bayangkan sensasinya?
Saat kita ingin segera menuntaskan hajat, namun harus bersabar untuk tidak memuntahkannya. Tidak bisa bergerak, di tengah mulas yang mendera.
Bahkan untuk sekedar menggeliat sedikit mencari posisi nyaman.
Ya, teknik melahirkannya jaman itu memang masih dengan posisi dimana si ibu berbaring telentang. Padahal, menurut buku yang kubaca, ada banyak posisi lain yang lebih memudahkan.

Pembukaan sudah lengkap. Dokter menginstruksikan untuk mengedan.
Namun, karena nervous, aku lupa caranya. Haddeh...
Asistennya mengoreksi dan mengarahkan teknik yang benar. Aku mencobanya.
Kontraksi datang sekali lagi, dan aku mencoba lagi sambil meneriakkan takbir.

Berhasil.
Alhamdulilah.
Aku merasakan dia meluncur keluar.
Sesuatu yang terasa licin daaann... paanjang....?
Lega.
Namun, tak terdengar suara bayi menangis.
Ada yang tidak seperti seharusnya.

Aku menangkap kesan terkejut pada semua wajah di ruang itu.
Si Ular Putih?
Ahaha.. Bukan!

Lagi, dokter menginstruksikan sesuatu yang tak kupahami. Asistennya sigap mengambil sesuatu entah apa dan mereka berdua, bertiga dengan ibu mertuaku kembali berjuang membantuku.
Terasa cairan hangat membanjiri.
Aku tak sepenuhnya paham apa yang terjadi.

Dokter mencek kondisiku, dan ketika kontraksi datang sekali lagi, mengomando untuk mengedan lagi.
Allah... Aku mulai lemah.
"Sekali lagi Bu, sedikit lagi." Suara asisten dokter menyemangati.
Aku mengerahkan sisa-sisa tenaga dan akhirnya merasa lega.
Bayi yang ditunggu-tunggu sekian lama sudah tiba.
Semua wajah tegang kembali cerah.

Dokter mengucapkan selamat, sementara asistennya masih sibuk membersihkanku.
"Bokongnya diangkat, Bu." perintahnya.
"Gak bisa, Mbak." Aku menggeleng lemah, bahkan menggerakkan jempol kakipun tak mampu.
Aku lemas...
Sejak semalam belum makan.
Plus ngantuk.
"Jangan tidur dulu bu." Disodorkannya segelas teh hangat.
Suamiku membantuku minum dengan sedotan.
Alhamdulillah, segar.

"Sudah selesai?" aku bertanya.
Asisten dokter tersenyum mengangguk.
"Tadi itu...apa?"
"Tunggu dokter saja ya Bu."

Beberapa waktu kemudian dokter kembali ke ruangan. Aku mengulangi pertanyaan yang sama.
Pertama- tama dokter mengajakku bersyukur bahwa si bayi akhirnya terlahir dengan selamat dan normal. Dokter menjelaskan bahwa yang pertama keluar tadi adalah plasenta. Mungkin karena sudah pengapuran itu. Sementara, bayi masih tertinggal di dalam. Oleh sebab itulah terpaksa dilakukan tindakan vacuum untuk membantu menarik bayi keluar. Alhamdulillah, nyawa bayinya tertolong, namun masih perlu pemantauan.

"Aku kepingin lihat," aku meminta pada dokter.
"Nanti kalau kondisinya lebih baik, kami antar ke ibu. Ibu istirahat dulu. Kalau dirasa terlalu banyak darah yang keluar, nanti lapor ya Bu."

Saat pertama memandangi wajah bayi lelaki itu, rasa haru membuncah di dada. Aku menciumi pipinya yang tembem sambil mengusap rambut ikalnya. Wajahnya sedikit aneh karena kepalanya yang terlalu panjang. Akibat divacuum itu kurasa.
Ah...Nak, akhirnya bisa juga menatap wajahmu. Semoga sehat-sehat dan kita cepat pulang.


Empat hari kami memulihkan kondisiku dan juga bayiku di sana. Tanggal 31 kami pulang ke asrama.

Usai berkemas, kami melangkah ke depan. Berpamitan pada dokter dan para asistennya yang sudah begitu baik melayani kami.
"Maaf ibu, mobil klinik masih di perjalanan menuju kemari. Tadi baru ngantar pasien juga. Mohon menunggu sebentar yaa," ucap seorang petugas.

Aku yang menggendong bayi Irsyad melangkah menuju kursi di dekat bagian administrasi dan kasir. Suamiku ada di sana untuk urusan pembuatan Akte Lahir.
"Eh, Mi.." Dia tergopoh membantuku duduk.

"Oh ini istrinya..." kudengar suara kecil seorang perempuan dari belakang loket.
"Ssst..."
Lalu terdengar mereka cekikian.
Ada apa? tanya hatiku.
Dikira bujangan lagikah?

Mobil klinik datang. Aku berdiri di samping suamiku. Menunggu hingga pak supir selesai memuat barang-barang kami dan menyilakan naik.

Aku menoleh ke loket. Mbak-mbak yang tadi di situ membuang muka ketika kami bertatapan.
Mungkin, buatnya aku tak ideal berdiri di samping lelaki yang wajahnya tengah berseri itu. Walaupun lelaki itu bilang wajahku lebih cerah, mestilah ada gurat lecek dan lelah.

Yaelah Mbak... Gak usah juga dibandingin sama Mbak Kate ngkali. Namanya juga emak baru lahiran.

Dokter melintas dan menyapa kami. Sekali lagi kami berpamitan dan mengucap terima kasih.
Tanpa kusadari, aku mengucapkan,"Sampai ketemu lagi..."
Ternyata Allah menyimpan ucapanku itu dan berbulan kelak aku kembali.
Ahaha.
Makanya ibu harus berucap yang baik-baik.

***
Epilog

Aku mengulangi kembali panggilan via whatsapp ke nomer tadi.
Tak diangkat.
Sekali lagi. Tetap tidak tersambung.
Ah sudahlah. Paling-paling habis batre itu hapenya.

Aku mengetikkan pesan.
[Habis batre ya?]
Lalu menskrinsyut foto PP-nya dan mengirimnya.
[Mas, foto wa mu ini apa nggak sebaiknya diganti?
Kayak gitu saja nampak kalo ganteng... Nanti org pada kesengsem 😀😀]

Centang satu.
Biarlah kutunggu sampai dia membacanya.
Sebagai istrinya, aku berhak cemburu.

Eaaaa.. Ahaha.

*T.A.M.A.T*

Ceritaku: PP (lanjutan)







Tak terdengar suara apapun di seberang. Hanya isakku yang makin tersedu.
Pikiran kalut, jauh dari keluarga dan orang-orang yang dicinta.
Ya, kami memang berpisah sejak sebulan lalu.

Setelah menitipkanku di sebuah asrama putri di Jakal km 4.5, dia pulang kembali ke Batam bersama permata hati kami.
Dan aku di sini sendiri, meniti hari-hari sepi dengan kesibukan entah.
Status sebagai mahasiswi dan berbagai aktivitasnya tak benar-benar kunikmati. Kondisi sebagai ibu hamil yg memasuki trimester ketiga lebih menyita energi.

"Adek... Ssstt... Adeeek," suaranya memanggil.
Aku mengacuhkannya. Masih tersedu.
"Adek.... Ummi... Sayang... Coba cerita yang benar, dokter bilang apa?" Dia membujuk menenangkan.
"Dokter...bilang... bayinya tak berkembang. Hasil USG nya...menunjukkan kondisi bayinya... jauh dari normal. Katanya... kalau tak berkembang... hiks...harus dibuang." Masih dengan terputus aku bertutur.
"Adek... Sayang, sabar ya. Allah lebih tahu yang terbaik. Serahkan pada Allah semuanya."
"Terus, aku harus bagaimana? Aku takut..."
"Mas gak paham kalau soal ini. Coba adek cerita sama Mbak. Mungkin dia bisa ngasih pencerahan."
"Mas nyusul aku ke sini yaa?"
Diam.
"Mas...?"
"Eh... Iyya, gimana?"
"Mas nyusul aku ke sini. Ya?"
"Adek... Mas baru memulai lagi karir sebagai guru dalam 3 bulan ini. Masa mau mengundurkan diri? Kasihan nanti murid-muridku keteteran. Lagi pula, gak enaklah sama kepala sekolah dan guru-guru di sini."
"Mas itu gitu. Lebih sayang murid dari pada istrinya." Aku merajuk.
"Yaa, bukan begitu. Mana ada suami yang gak sayang istri."
"Lha, itu buktinya?"
Terdengar helaan napas.
Dalam kondisi biasa mungkin kami sudah berdebat panjang lebar.
"Sekarang, dibereskan dulu masalahmu. Nanti kita pikirkan langkah selanjutnya. Kapan jadwal kontrol lagi?"
"Dua minggu ke depan."
"Kok cepat? Biasanya kan sebulan sekali?"
"Ini sudah mau bulan ketujuh, Maaasss."
"O... Ya sudah. Nanti jangan lupa telpon Mbak. Segera telpon kalau ada apa-apa."
Aku menangguk. "Titip cium buat Aya."
"Assalamu'alaikum."
Aku menjawab dalam hati saja.
Lalu mencari-cari nomer yang direkomendasikannya.

Tersambung.
Sesegera telpon diangkat, aku menumpahkan tangis dan resahku.
Di seberang, kakakku menyimak keluh kesahku. Tentang diagnosis dokter, tentang suamiku, tentang kesedihan dan ketakutanku.
Sesekali ia menenangkan dan membesarkan hatiku. Ah, ingin rasanya menangis di bahunya.

Di akhir emosi yang kian menyurut, aku mengingati pesannya. "Tak apa, serahkan saja pada Allah. Makan yang banyak, beli suplemen madu, susu, buah, es krim biar janinnya cepat besar. Nanti, dilihat perkembangannya pas kontrol berikutnya. Baik-baik di sana, jangan mikir yang bukan-bukan. Anakmu disini sehat-sehat kok."

"Iyya, terima kasih." Aku menjawab lemah.
Bersyukur punya saudara yang care seperti dia.

Jadwal kunjungan berikutnya. Masih ditemani Marina, namun kali ini pakai taksi.
"Nomer 18..." Nomerku dipanggil.
Aku beranjak menuju ruang dokter.
Di depan pintu, perawat berseru, "Pasien nomer sembilan belas siap-siap yaa!"
Lhaa...

Dokter menyambutku dengan senyum. Bertanya kabar dan kondisiku.
Dia menengok catatan kontrolku.
"Nanti kita lihat kondisi janinnya. Kalau memang kondisinya masih seperti kemarin nanti kita atur jadwal tindakan."
Aku menyumpah dalam hati. Dokter ini kok gak punya empati.
"Jadi masuk bulan delapan ya Bu?"
"Tujuh dokter..."
"Tujuh? Tapi disini HPHTnya bulan 2, Februari?"
" Bulan Maret dokter..."

Dokter dan asistennya berpandangan dengan tatapan yang tak bisa kutafsirkan. Agak lama, lalu menghela napas panjang.
Ada sesuatu yang salah dengan catatan itu. Otakku menyimpulkan demikian.

"Baik ibu," dokter cepat memutus kesunyian dalam ruangan itu. "Kita USG dulu ya. Silakan."
Sesi kontrol itu berlangsung kilat. Dokter tak memberikan kesempatan padaku untuk berkonsultasi. Setelah mengomentari kondisiku berdasarkan USG dan meresepkan vitamin, dokter berdiri dan membukakan pintu untukku sambil tersenyum.
"Silakan Ibu, masih banyak yang antri."

Aku mendengus. Kesal.

*****
Drama tentang janin tak berkembang berakhir sudah. Alhamdulillah. Namun, masih menyisakan kecemasan di lubuk hati terdalam.
Kondisi kehamilan kedua ini berbeda sangat signifikan dengan sebelumnya.
Mual muntah sepanjang hari hingga memasuki bulan ke enam, akhirnya reda ketika aku ditinggal sendiri di Kota Pelajar ini.

Sebulan pertama di sini, aku mangkir dari pemeriksaan hingga bertemu dengan dokter tadi itu. Dokter yang digadang-gadang sangat terkenal dan banyak peminatnya.

Akhirnya aku mencoba menikmati saja hari-hari di sini. Berdamai dengan takdir, haha...
Hingga suatu siang sepulang sekolah, eh kuliah, kudapati bercak coklat.
Hmm... Mungkin kelelahan. Semalam memang habis ngelembur tugas kuliah.

Aku merebahkan diri di atas bed di kamar kostku. Di luar, terdengar celoteh anak-anak gadis yang tengah bereksperimen dengan masakan di dapur.
Kamarku memang bersebelahan dengan dapur. Sengaja kupilih untuk memudahkan melayani diri.

Hari-hari dengan kesibukan kuliah, kontraksi palsu dan flek yang datang silih berganti sudah tak ku ambil berat. Mencoba tegar, supaya tak menyusahkan banyak orang.

Desember tiba, dan aku bersiap menyambut perjumpaan dengan belahan hati.
Sejak awal, aku sudah merengek minta suamiku datang di awal bulan. Biar bisa melalui hari-hari menegangkan itu dengan lebih rileks.
Menegangkan?
Ya tentu saja. Menunggu HPL itu menegangkan tau.
Bukan hanya perut yang tegang, tapi juga pikiran karena kita tak pernah benar-benar tau kapan kontraksi yang asli itu akan datang dan menguras semua energi dan fokusmu.

"Tanggal segitu Mas sedang sibuk, Sayang," begitu jawabnya ketika aku memintanya datang.
"Sekolah sedang ujian, dan aku masuk di tim inti pelaksanaan UAS."
Dia memang loyal pada pekerjaannya. Supaya berkah gajinya, katanya.
"Bilanglah sama Pak Mul, istrimu mau melahirkan. Katamu kalian teman baik." Aku mencoba merayu.
Terdengar tawa kecil di sana.
"Yaa... memang teman baik. Tapi tidak harus memanfaatkan teman juga kali," suaranya mengandung tawa.
Aku diam... Membiarkan saja pulsa terbang ditelan kebisuan antara kami.
"Jadi Mas kesininya kapan?"
"Setelah tugas-tugas sekolah selesai." jawabnya pasti.
"Kalau nanti lahirnya maju kayak dulu, bagaimana?" masih mencoba menggoyahkan pendiriannya.
"Mas percaya, Allah akan mengirimkan orang baik yang akan membantumu. Yakin! Biidznillah."
Wheww... Manyun aku dengan jawabannya.

Minggu pertama Desember berlalu.
Minggu kedua juga terlewati.
Minggu ketiga tiba di pertengahannya.
Yang di dalam masih asyik menikmati dunianya.

Akhirnya, suamiku mengabarkan bahwa dia sudah mengantongi tiket Batam-Jogja.
Yeeaayy... Alhamdulillah.

Aku menyewa sebuah kamar lagi di kost-kostan yang dikhususkan buat suami-istri. Walaupun tak sebagus dan seluas kamar kostku ini, tapi lumayanlah.
Dia datang sendiri, tanpa membawa si Cantikku yang baru genap 1 tahun. Sedih. Tapi alasannya membuatku memaklumi keputusannya.

"Mas, ini sudah lewat dari perkiraan lahir. Kok belum lahir juga ya?"
"Sabarlah Dek. Mungkin beberapa saat atau hari ke depan, insya Allah."
"Mas, bajuku ini sudah sesak tau."
"Emang naik berapa kilo?"
"Banyak. Mas pasti suka kan lihat aku endut begini?"
Dia tertawa.
"Baju-bajuku sempit semua lho Mas. Padahal semua gamisku kan ukuran XL.."
Hahaha... Modus.
"Terus gimana? Mau beli gamis baru?"
Aku terkekeh. Tumben nyambung, wkwkwk...
"Duitnya masih ada kaaan?" pura-pura tanya.
"Ayuklah.."
"Kemana?"
"Katanya mau gamis baru?"
Whaaa.... Senangnya punya suami baik dan sayang istri.
"Bener nih?" Masih tak percaya.
Biasanya dia penuh pertimbangan kalau urusan beli-beli barang.
"Yaaa...menyenangkan hati istri kan berpahala," kalem saja jawabannya.
"Ayok, kemana kita?" Aku menggandeng tangannya.
"Aku tahu tempatnya. Yuk!"

***
Sejak malam, perutku mulas dan tegang. Kadang hilang, lalu muncul lagi. Berulang-ulang. Hingga subuh menjelang, mata ini belum terpejam. Hanya membolak-balikkan badan kiri-kanan sambil memandangi dia yang pulas di sebelah.

Sayup terdengar adzan. Aku menggugahnya.
"Bangun , Mas. Sudah adzan."
Dia membuka mata, menggeliat dan duduk di tepi bed. Memandangiku.
"Adek gak tidur?"
"Gak bisa tidur. Perutku mulas dari semalam."
Dia mengecupku sekilas.
"Nanti kita ke dokter. Subuh dulu."

***

Usai jalan pagi, kami sarapan. Dua bungkus nasi uduk yang tadi dibelinya dari Simbah yang menjaja di depan gang masjid.
Kontraksi dan mulas silih berganti datang dan pergi. Lalu tiba-tiba terasa kontraksi yang kuat sekali. Aku mencekal lengannya kuat-kuat.
Meringis menahan sakit, sambil mengatur napas.

Sorenya kami datang ke dokter lagi ketika aku hampir menyerah dengan kontraksi yang semakin kuat. Sebelumnya, sempat berdebat kecil karena aku tersinggung dengan pertanyaannya, "Ini beneran sakit, Dek?"
Yaelaah...Pak ...Pak.
"Yang dulu kan gak begini banget," begitu argumennya membela diri.
"Maas, yang dulu itu kan hamilnya gak bermasalah. Masalahnya adalah ketuban pecah dini dan tidak ada kontraksi. Makanya aku gak merasa mules mules kesakitan kayak begini." Aku mencoba menjelaskan.
Dia mengangguk-angguk.

Saat pemeriksaan, disampaikan bahwa sudah pembukaan dua. Aku disarankan stay di klinik agar bisa diobservasi. Apalagi HPL sudah jauh terlampaui.

Bidan senior yang menangani. Dokter yang biasa kutemui sedang cuti akhir tahun. Dokter perempuan yang satu lagi menghadiri seminar di Bangkok. Tersisa dokter laki-laki yang buru-buru ditolak oleh suami.

Kamar kelas tiga penuh. Kami diantar ke kamar kelas dua. Dalam hati aku berdoa, semoga gaji honor suami dan subsidiku cukup untuk biaya persalinan dan pemulihan.
Kontraksi masih hilang-muncul malam itu. Sehabis maghrib, bidan datang dan mencek segala sesuatu.
"Ibu rileks saja. Mudah-mudahan tidak lama lagi." Lalu berbicara beberapa hal pada suamiku.

Malamnya, aku eh kami tertidur pulas. Bangun ketika adzan subuh mengalun. Mulas-mulas yang kemarin kurasakan telah hilang.

Pagi itu, kami menunggu bidan datang. Namun sampai jam setengah sepuluh, tak seorangpun muncul. Aku mendesak suamiku bertanya pada perawat yang berjaga, apakah semalam ada bidan datang ke kamar kami.
Dan jawabnya membuat aku melongo.
Tak ada.

"Kalau ibu semalam bisa pulas tidurnya tanpa diganggu kontraksi, berarti kemungkinannya masih lama. Kala pembukaan dua itu waktunya bisa berhari-hari."

Aaaahhh...tiba-tiba aku ingat Bu Ahmad yang menginap dua minggu di rumah sakit.

"Pulang yuk, Mas." Aku menggamit tangannya.
"Kok pulang?"
"Ssst... Ngurangi pengeluaran tau. Nanti saja balik lagi kalo dedeknya sudah mau keluar. Sana, Mas urus dulu administrasinya."

Dia berlalu. Beberapa waktu kembali lagi menjumpaiku di kamar.
"Habis berapa, Mas?"
"Gak ada..."
"Masak gratis?"
"Katanya nanti saja digabung dengan paket melahirkan nanti."
"Yaelaaahhh..ada paket-paket segala." Aku mengamati kertas di tanganku. Tertera list paket melahirkan beserta harganya.
Aku menelan ludah. Diam-diam berdoa.
"Yuk, Sayang." Dia menggamit lenganku.

Berdua kami melenggang meninggalkan klinik tempat menginap semalam.
Pulang.

*****

Bersambung


Kamis, 03 Mei 2018

Ceritaku: PP

Menunggu pihak di sana menyambut panggilan, tanpa sadar aku mencermati PP yang tampak di layarku.

Sepotong tubuh setengah badan berbalut jasket almamater dan setengah wajah dari dagu berjanggut hingga ke bawah hidung. Samar bayangan kumis tipis dengan bibir tersenyum, mengisyaratkan sosok tersebut tengah bahagia. (Iyyalah.. yang mengambil foto istri tercintanya). Tampak muda dan ceria. Ahaha...

Tanpa kusadari, ingatanku melayang pada peristiwa suatu sore.
Sholihah yang baru pulang sekolah duduk mendeprok di sebelahku yang tengah memotong buah naga. Lalu meluncurlah kata-katanya.
"Tadi, waktu Abi jemput kakak, kan kakak masih main sama teman-teman dan mbak-mbak kelas 5. Terus, mbak itu bilang, " Hasna, abimu ganteng juga ya...?""
Haa? Aku si emaknya cuma melongo.
Yang di sebelahku masih semangat melanjutkan cerita.
Dan entah mengapa, aku merasakan ketakutan yang diam-diam menyusup dalam hati.

*****

"Mas, lagi di mana?" tanyaku begitu telepon tersambung.
"Di sekolah," jawabnya pendek.
"Tadi sms pakai nomer siapa?"
Tak ada jawaban.
"Kok aku telpon ke sana yang angkat perempuan?"
"Pulsaku habis, belom sempat isi. Masih ada kelas habis dhuhur ini."
"Nomer siapa?" Aku memaksa minta jawaban.
"Itu wakakur."
"Kalo sama guru perempuan jangan dekat-dekat."
Dia diam.
"Mas..."
"Ya?..."
"Mas masih ada duit kaan?" aku menggigit bibir.
"Kenapa?"
"Minggu ini jadwal kontrol ke dokter. Duitku tinggal seratus."
Terdengar helaan napas dari seberang.
"Iyya, nanti Mas kirim, insya Allah."
"Terima kasih. Mas sehat-sehat kan?"
"Alhamdulillah."
"Syukurlah. Nanti kalau sudah transfer kabari ya?"
"Insya Allah."
"Aya sama siapa?"
"Tadi pagi tak anter ke nenek."
"Kok gak ke budenya?"
"Bude sekeluarga ada acara partai."
"Ooo... Ciumin buatku yaa... Kangen."
"Siap. Baik-baik di sana."
"Ok. Salam buat semua. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Hape kumatikan dan bersiap pulang. Pengen cepat-cepat istirahat.

Tempat kost ku hanya berjarak sekitar sekilo dari kampus. Lumayan untuk bikin ibu hamil berkeringat. Sebetulnya, ada angkutan umum berupa minibus. Tapi nunggunya lama.
Jadi aku lebih memilih berjalan kaki. Kalau kebetulan minibus itu lewat aku menyetopnya.
Bus kota juga ada. Tapi harus memutar ke dekat Sarjito, atau FKG untuk mencapainya.
Males,,, lagi pula rawan copet.

Sore itu usai asar, Marina mengantarku ke sebuah klinik bersalin. Diboncengnya aku dengan laju motor yang sangat-sangat lambat.
Ketika aku mengomentarinya, dia malah meminta maaf.
"Maaf ya Mi. Ini pertama kalinya saya boncengin ibu hamil. Jadi takut penumpangnya gak nyaman."
Aku tersenyum dan menatapnya dengan penuh rasa terima kasih.

Menjelang jam 9, kami baru keluar dari parkiran klinik tersebut.
Penat. Juga kasihan sama Marin yang terpaksa lama menemani.
"Maaf ya mbak Marin. Jadi lama nemenin saya."
"Gapapa, Mi. Kebetulan juga tak ada agenda malam ini."
Dia melajukan kembali beatnya perlahan. Menyusuri jalan raya dan gang-gang menuju asrama kami.

Usai sholat isya yang terlambat, aku menekuri sajadah di depanku.
Ucapan dokter di kali pertama pemeriksaan tadi, menciutkan nyaliku.
Antara percaya dan tidak, karena sebelumnya dokterku di Batam menyampaikan bahwa kondisi janin sehat-sehat saja.
Kenapa di sini jadi berbeda?

Aku memang tak melapor kalau kondisi tengah hamil ketika terbang dari Batam ke sini. Jilbab panjang dan gamisku juga menyamarkan kehamilan 6 bulanku.
Haruskah aku mengabarkan pada suamiku?
Aku khawatir dia akan panik.
Apa yang sebaiknya aku lakukan?

*****

Aku memainkan Nokia N70 di tanganku. Ragu, antara ingin menelpon dan menyimpan sendiri hasil diagnosis dokter.
Ku buka daftar kontak di hape ku.
Nama pertama di situ adalah namanya.

Logika dan hatiku tarik-ulur.
Ini masih jam sekolah.

Bagaimana kalau dia sedang di kelas? Kamu akan mengganggu konsentrasinya..

Ah, coba dulu saja. Mungkin dia sedang free. Dia perlu diberitahu berita ini, bantah sisi hatiku yang lain.

Apa tak sebaiknya nanti sore saja?

Sekarang saja, daripada kamu sedih menanggung beban sendiri.

Aku mengusap air mata yang menetes. Memandangi nama yang tertera di monitorku.

Rttt...rttt... Benda itu bergetar. Lalu nada panggil spesial terdengar.
Aku memang menandai nomer soulmateku itu dengan nada dering yang berbeda.
Tergesa ku tekan tombol hijau.

"Mas..." aku menahan tangisku. Berpura-pura ceria.
"Assalamu'alaikum Sayang... Gimana kabarnya?" suaranya ceria. Dia memang begitu.
"Sudah jadi ke klinik?"
"Alhamdulillah, baik."
"Jadi ditemani Marina?"
"Iyya... Alhamdulillah."
"Alhamdulillah..."
"Mas... Aku mau cerita..."
"Mas juga mau cerita. Adek mau denger kaan? Ada berita baik, ada berita buruk. Mau dengar yang mana dulu?"
Aku diam.
"Adek mau cerita apa?"
"Mas dulu saja yang cerita." Aku ragu mengabarkan pada suamiku. Suaranya ituloh... Ceria sekali. Khawatir akan merusak moodnya jika aku mengabarkan sesuatu yang buruk.

"Mas mau cerita apa?"
"Mas baru pulang dari pelatihan di Tanjung Pinang."
"Pelatihan apa?"
"Pelatihan guru..."
"Ooh... Terus?"
"Ada temanku ikhwan yang dijodoh-jodohkan sesama peserta pelatihan."
Hatiku mencelos.
"Mas juga dijodoh-jodohkan?"
"Iyya...," terdengar suara tawa kecil di seberang.
"Gak bilang kalo sudah nikah? Sudah mau punya anak dua?" suaraku terdengar galak di telingaku sendiri.
"Yaaa... Sudah," suaranya terdengar bersalah, "Tapi gak ada yang percaya."
Aku menghembus napas kuat-kuat.

Dia memang masih seperti anak kuliahan. Apalagi kalau pakai koko putih dan celana biru. Nampak seperti siswa SMP.
"Terus?"
"Lha, sebelum pulang, aku dapat titipan surat dari akhwat yang dijodohkan sama temanku itu. Dia menawarkan diri untuk dilamar."

Haaa?
Aku mendelosor duduk di lantai. Lemas.
Tak tau mesti ngomong apa.
Dari hape di genggaman, masih terdengar suaranya.
"lni sudah yang ketiga kalinya. Dua kali sebelumnya aku diundang bapak-bapak sesama jama'ah masjid. Ditawarin main ke rumahnya untuk kenalan sama anak gadisnya. Kupikir, sebaiknya aku jujur pada Cintaku."

Aku menggigil, menahan isak. Meleleh sudah air mata.
Aku percaya, dia tak mungkin berkhianat. Apalagi tepe tepe, jauuuuhh. Dia tipe lelaki yang selalu ghodul bashor.
"Mas..." aku memanggilnya lemah, "Kata dokter... janinnya ...harus...di ..buang. Ja..nin..nya.. hiks.. gak..hiks..ber...kem...bang.."
Aku tersedu. Tumpah sudah air mata.

*****

Bersambung

Selasa, 27 Februari 2018

Bagaimana menyalurkan 20.000 Anda?

Apa yang akan Anda  lakukan jika hari ini Anda memiliki "hanya'' 20.000 rupiah?  Jawabnya tentu bermacam-macam, tergantung bagaimana Anda memandang lembaran 20.000 itu.
Bisa untuk makan, beli paket data, uang saku anak-anak, ditabung, atau diinfakkan saja.
Sebagian orang memandang 20.000 sangat berharga, namun buat sebagian orang lagi, 20.000 itu hanya remah-remah, hehe.. Tapi 20.000 buat emak-emak, pasti amat sangat banyak manfaatnya, sehingga punya 20.000 di akhir bulan itu masih bisa merasa bahagia.


Namun, saya tak hendak membahas 20.000 yang berupa lembaran hijau itu. Walaupun faktanya lembaran hijau 20.000 itu memang seringkali menyelamatkan posisi emak-emak. Apalagi kalo seandainya bisa mateng diperam jadi berubah warna merah, hehe.

Bukan, bukan 20.000 yang itu.

Jadi 20.000 yang mana yang dimaksud?

Ini tentang 20.000 yang tersimpan di otak para emak.
Yang konon katanya kalau tidak tersalurkan dalam sehari bisa bikin emak-emak tidur ga nyenyak.
Yup, tepat! 20.000 kosa kata yang digunakan para emak dalam komunikasi harian dengan semua orang dan benda-benda di sekitarnya.

Bun, pasti gak asing kan dengan label "nyinyir" atau "cerewet"?

Siapa yang dilabeli demikian? Iiiyyyyaaa...betul.
PEREMPUAN!
Utamanya Emak-emak, hehe
Benarkah perempuan cerewet dan nyinyir? Bener gak sih?

Menurut Dr. Asiah Dahlan, seorang dokter yang menekuni neurosayens, sebetulnya perempuan itu tidak cerewet, apalagi nyinyir, beeeuuh, jauh.

Perempuan itu, hanya KAYA KOSA KATA yang membutuhkan tempat untuk penyalurannya.
Jadi perilaku nyinyir atau juga cerewet itu adalah efek samping dari kemampuan otak perempuan dalam memproduksi kosa kata.
Jika pada kaum lelaki, kemampuan memproduksi kosa kata hanya sekitar 7000 per hari, maka pada perempuan bisa hampir tiga kali lipatnya, yaitu sekitar 20.000 setiap hari.
Itulah sebabnya, perempuan cenderung mendominasi pembicaraan, mengomentari banyak hal dengan kalimat-kalimat yang panjang, tak bisa to the point alias kalau menyampaikan sesuatu dengan berbelit-belit dan kesan yang muncul adalah tak bisa diam, cerewet bahkan nyinyir.

Nah, seperti pada tajuk di atas, saya ingin mengusulkan beberapa trik sebagai solusi untuk menyalurkan kekayaan perempuan berupa 20.000 kata per harinya.


Yang pertama adalah tilawah quran

Ini aktivitas yang sangat bagus, di samping bernilai ibadah. Awali pagi Bunda dengan tilawah Quran, dan rasakan bedanya. Kalo biasanya pagi Bunda hectic, heboh dan full tragedi harian, insya Allah bisa lebih tenang. Lebih bagus kalo bisa tilawah pagi 1 Juz... Maka ada sekian banyak kata yang sudah tersalurkan dalam kebaikan.

Yang kedua dzikir.

Memperbanyak dzikir, istighfar akan menentramkan hati, menurunkan entropi, menurunkan ketegangan, dan bernilai ibadah.
Kalo tadinya Bunda hanya dzikir seusai sholat, coba deh tambahin dengan dzikir pagi dan sore, istighfar dalam setiap aktivitas. Insya Allah akan terasakan manfaatnya.
Apalagi kita tahu bahwa istighfar itu, selain mengikis dosa dan kesalahan juga membuka pintu-pintu rezeki.. Asyik kaan?

Yang ketiga murojaáh.

Murojaáh artinya mengulang. Kalau Bunda punya hafalan surat atau ayat-ayat Quran, atau doa, atau hadits, murojaáh ini akan membantu untuk menguatkan hafalan. Sediakan waktu khusus, dan istiqomahlah.
Manfaatnya? Kayaknya sudah jelas deh, sama kayak yang dua di atas.

Keempat, sholawatan.

Buat Bunda yang punya baby atau batita, sholawat ini bisa jadi andalan kalo tengah menimang bayi. Biasanya baby akan tenang kalo diperdengarkan sholawat atau bacaan Quran dari mulut ortunya.
Ada juga bunda yang mendendangkan nasyid atau lagu-lagu bersyair baik lainnya. Insya Allah, selain menenangkan anak, bunda juga bisa lebih tenang karena 20.000nya tersalurkan, hehehe..

Kelima, menulis diary atau artikel bermanfaat.

Banyak pakar mengatakan bahwa menulis adalah salah satu terapy penyembuhan. Menulis yang dilakukan dengan hati, akan melegakan hati. Disamping memberikan manfaat buat orang lain, menulis juga dapat menurunkan tingkat stress atau depresi dan memberikan efek relaksasi.
Sssttt... menulis juga bisa memberikan efek pada ketebalan dompet atau saldo rekening lho...Ahahaha
Kalo buat dosen atau guru, bisa buat naek jafung, wkwkwk..

Keenam, mengajar

Peran sebagai guru/pengajar/tutor sangat cocok buat perempuan. Selain bisa berbagi ilmu yang bermanfaat, kegiatan ini juga dapat menyalurkan potensi berupa kekayaan kosa kata tadi itu.
Apalagi kalo jadi guru PAUD atau TK, waahhh.. cuocok buanget, hehe. Bayangkan, berapa banyak kata yang bisa tersalurkan...
Apalagi kalo pas jadi tutor buat guru PAUD. Waaah.. Can U imagine that? Banyak benefit, ups.
Kalaupun gak punya lisensi dan kesempatan untuk jadi guru formal, bisa juga jadi guru non formal, berbagi keterampilan, berbagi pengetahuan. Asal jangan menghibah saja sih.
Lebih bagus lagi kalo bisa mengajari anak sendiri. Selain sebagai terapi, ngurangi pengeluaran juga, hahahaa..
That's why the women must be smart.

Nah, demikianlah tips-tips yang bisa dilakukan oleh seorang wanita, khususnya emak-emak dalam menghandle potensi kekayaan bahasanya. Kalo masih ada ide, silakan ditambahkan. Yang penting, pilih metode penyaluran yang bermanfaat dan kalau bisa bernilai plus. Bisa plus pahala, bisa juga plus rupiah. (Endonesah banget, hehe..).

Gitu ya... Semoga bermanfaat.
Allahu a'lam bisshowab.


Gombak, 270218