Senin, 20 Oktober 2014

Pada Dhuhur Suatu Siang

Siang terik. Masjid sudah mengumandangkan lantunan ayat suci Al Quran.  Sebentar lagi adzan dhuhur akan memanggil.  Aku melongok ke lapangan.  Sepi.  Entah kemana dua jagoanku bermain sedari tadi.
Dulu, pesan yang selalu diingat mereka adalah "Kalau sudah adzan harus pulang." masih ampuh.  Bahkan ketika ketiganya sempat "hilang" bermain sampai jauh ke kompleks tetangga, aaku masih menjumpai mereka teguh memegang pesan itu.
Namun pertambahan usia sepertinya juga semakin membuat mereka makin berani bereksplorasi, berani berpendapat dan mulai berani menentang petuah-petuah yang menurut mereka tidak sesuai dengan keinginan mereka.
Sebagai contohnya saja, aku selalu mengingatkan anak-anak untuk pulang ke rumah jika di masjid sudah mulai ngaji. Namun, belakangan, hal itu nyaris sudah tidak digubris, kecuali setelah aku menggiring mereka pulang dan masuk ke rumah.  Kadang bahkan usai adzan pun, belum nampak juga batang hidung mereka.
Siang itu, setelah menemukan mereka, aku menggiringnya pulang, mengunci pintu pagar dan pintu depan.
"Main di dalam rumah saja," begitu aku membujuknya.
Keduanya menurut masuk, namun masih melongok ke luar melalui jendela.
Suara adzan yang berkumandang sepertinya membuat resah mereka.
"Umi, sudah adzan," begitu Irsyad berucap.  Sepertinya dia berusaha menyampaikan aspirasinya.
"Ayo berwudlu, segera sholat."
"Mas mau sholat ke masjid."
"Sholat di rumah saja sama Umi.:
"Kan kalo laki-laki harusnya sholat di masjid." Dia mulai berrargumen.
"Iyya, kalau sama Abi boleh.  Sekarang kan Abi masih di sekolah. Jadi mas-mas sholat di rumah saja sama Umi."
"Mas kan bisa sholat ke masjid sendiri.." Dia mulai ngotot.
"Umi bilang sholatnya di rumah saja, kalau gak ada Abi nanti kamu bukannya sholat, malah main-main, ngeganggu bapak-bapak. Kalau kamu lakukan, Umi-Abi nanti yang berdosa. Sholat di rumah saja ya, Nak?" Aku mengusap kepalanya.
Sepertinya dia menerima argumenku. Lalu bersegera berjalan ke kamar mandi untuk berwudlu.
Sesi berikutnya adalah rebutan jadi muadzin. Masalah klasik. Selalu saja tiap kali mau berjamaah, Irsyad dan Umar berebutan mengumandangkan adzan dan iqomat.  Sebagai anak yang baru lepas batita, Umar selalu lebih ngotot dan tak mau diatur. Dia langsung mengambil posisi di dekat tembok dan meneriakkan adzan plus qomatnya. Masnya, mulai memerah mukanya, dia tidak kebagian pahala, hehe.
Perseteruan berikutnya adalah pemilihan imam. Irsyad beranjak ke posisi lebih depan untuk menjadi imam, tapi Umar tidak rela sehingga trjadilah dorong-dorongan dengan emosi.
Aku melerai dengan memberikan keputusan bahwa akulah imamnya.
"Imamnya Umi, mas-mas silakan berdiri di belakang Umi."
Keduanya protes karena merasa lebih berhak menjadi imam. Duh, jundi-jundiku ini, mau sholat jamaah saja pakai bertengkar. Aku kehabisan waktu untuk membujuk dan langsung mengumandangkan takbir.
"Allohu akbar." Sholat dimulai.
Kukira mereka akan bergegas mengikutiku. Ternyata aku salah besar.
Jadilah, siang itu sholat dhuhurnya sendiri-sendiri. Anak-anak membaca dengan suara keras bacaan sholatnya, berasa mereka menjadi imam.  Dan bacaan sholatnya membuatku merasa tertendang.
Tahu sebabnya?
Rakaat pertama, ku baca surat al Fiil. Kudengar Irsyad membaca Al Insyiroh.  Sama-sama berawalan alam, tapi surat yang dibacanya lebih panjang. Dari sisi lain kudengar juga Umar membaca Adh Dhuha.
Rakaat kedua, aku membaca An Naas. Irsyadku ternyata melantunkan al Insan. (Hwaaahhh... aku belum hafal surat ini satu ayatpun. Sekalinya aku pernah membacakan ayat yang pertama surat ini, Dia mengoreksiku, gak begitu Mi, bacaan Umi salah, begitu ujarnya.) Sementara itu Umar melantunkan surat Al Qiyamah dengan lantang dan lancar. Maka makin merasa terpuruklah aku.
Rakaat ketiga dan keempat kuselesaikan. Umar sholat hanya dua rokaat, sementara Irsyad melantunkan surat al Qiyamah di rokaat ketiga dan surat Al Fajr di rokaat ke empat. Weew, bener-bener aku seperti terperosok ke dalam lapisan bumi terdalam. Maluuu banget.
Sepertinya, kalau berada di gerbong kereta, akulah di urutan terakhir...
Sepertinya, sebagai ibu, akulah yang harus lebih mengejar ketertinggalan dibandingkan mereka.


Batam, 201014