Senin, 08 Desember 2014

Antara Asma dan Isma

Penghujung 2014.
Tanpa terasa, hampir 7 tahun melalui kebersamaan.  Dalam biduk rumah tangga yang penuh dengan dinamika.  Hampir 7 tahun menyandang gelar sebagai ibu, dan menyadari bahwa dalam 7 tahun itu, susul menyusul prosesi hamil, melahirkan dan menyusui tanpa henti telah dilakoni.
Hwaahhh.. baru nyadar, kalo selama perjalanan pernikahan, episodnya berputar-putar pada hamil-melahirkan-menyusui plus merawat anak-anak. :P
Ya, dalam tujuh tahun itu, Alloh menitipkan 4 mutiara pada kami. Yang pertama baru genap 6 tahun, 2 minggu lalu.   Yang ke dua menjelang 5 tahun, milad akhir tahun ini, yang ke tiga usia 3,5 tahun dan yang ke empat berusia 1 tahun 3 bulan. Hmm, "Susun Paku" kata temanku yang orang Padang. Aktif, lincah dan kritis. Semuanya spesial dan unik.

Hal yang selalu kuingat, bahwa dalam proses pengasuhan,  7 tahun pertama, Anak adalah Raja. Walaupun tidak sepenuhnya menerapkan ini, melayani mereka bak raja maksudnya,  tetap saja terasa betapa besar stok energi dan sabar yang perlu disediakan di fase-fase awal kehidupan mereka. Melayani 4 anak usia balita, ternyata kadang juga merasa lelah, letih dan menguras emosi.  Betapa tidak, walaupun aku sudah mulai menerapkan pola asistensi, tetap saja semua butuh sentuhan tangan emaknya.  Tak ada yang terlewat.
 Menjadi seorang ibu, ternyata benar-benar.... MENYENANGKAN!
Begitulah salah satu cara bagiku untuk mensugesti diri dan menyerap semua energi positif agar bisa berjibaku menjalani hari-hari penuh tantangan dan petualangan bersama bocah-bocah itu.

Walau lelah, letih dan kadang bosan, Tapi aku bahagia, merasakan hari-hari yang ceria dengan tingkah polah dan tawa mereka.  Walau berantakan, walau belepotan,..Semua ini, tak akan lama kaaann?
Kusadari, kelak aku akan merindukan masa-masa seperti ini.  Lelah, letih dan sabar, jadi ujian buatku, hingga mereka menapaki usianya dan menjejak di fase kedua kehidupan mereka. Hanya beberapa tahun lagi.

Berbeda. Jauh berbeda dengan seorang wanita luar biasa bernama Asma.  Aku berjumpa dengannya kira-kira 2 tahun lalu, ketika suami mengajakku dan anak-anak berkunjung ke rumah salah seorang temannya. Ya, suami Bu Asma.  Kunjungan ini menyadarkanku, bahwa lelah-letihku, dan ujian kesabaranku belum sebanding dengan apa yang diberikan Alloh untuk keluarga ini.

Di rumah Bu Asma, kutemui seorang anak, yang... LUARRR BIASA.  Anak itu, mungkin sekarang usianya sekitar 15 tahun, mengingat adiknya saat ini sudah belajar di SLTP.  Tetapi, usia mentalnya, jauuuhhh... sangat jauh dibandingkan usia fisiknya.
Awalnya, aku dan anak-anak agak kaget melihatnya.  Tapi aku dan suami berusaha menanamkan pemahaman kepada anak-anak (dan diriku sendiri), bahwa putranya Bu Asma itu, istimewa.
Kemampuan fisiknya tampak seperti anak biasa,  tapi kecerdasannya, ku rasa tidak jauh berbeda dengan anak seusia Utsman atau anak usia 1 tahun-an.  Struktur tengkoraknya yang membuat otaknya tidak berkembang, telah membatasi anak itu untuk berinteraksi dengan dunia luar.  Caranya berkomunikasi dengan menunjuk benda yang diinginkan, atau meraih tangan orang lain untuk memberi tahu keinginannya atau dengan rengekannya, membuatku menyadari, bahwa lelah-letih ku tak seberapa.
Bahwa aku sangat beruntung dikaruniai bocah-bocah sehat yang manis dan cerdas.
Bahwa, betapa Alloh tahu dengan tepat kemampuanku, kadar kesabaranku.
Bahwa aku, belum apa-apa dibandingkan bu Asma, dan ibu-ibu lain yang diamanahi anak-anak dengan kebutuhan khusus.
Bahwa seharusnya aku lebih banyak bersyukur.

Teringat lagi, nasihat suami, yang selalu menguatkan dalam lemahku, mengingatkan dalam lupaku,  menyabarkan dalam emosiku ketika menghadapi aneka rupa tingkah pola anak-anak yang mengaduk-aduk emosi:
"Do'akan... Jangan pernah berhenti mendoakan anak-anak. Semoga Alloh membimbing dan memberikan mereka petunjuk".
Walau kadang masih berbalut dongkol, aku luluh juga.  Mereka masih anak-anak kaaaann?
Mungkin kecilku dulu juga begitu.  jangan-jangan, aktif dan kreatifnya juga karena nurun emaknya, hehe...

Dan aku makin jadi tambah merasa tercerahkan dengan bait-bait puisi ini. Semoga juga bisa menjadi pengingat untuk senantiasa bersyukur dan bersabar dalam menjalani prosesi menjadi ibu.

#Ingatlah disana#
Karya Kiki Barkiah

Bunda sayang.....
Saat kau merasa bosan
mendampingi buah hati yang sulit makan
Melayani satu demi satu suapan
Bahkan tak jarang beragam hidangan
kau siapkan sebagai pilihan cadangan
Maka ingatlah disana
Ada bunda yang tengah berjuang mati-matian
Untuk sekedar mengajarkan anaknya menelan
Ingatlah disana
Maka kesulitanmu kan terasa begitu picisan
Maka nikmat Tuhan manalagi yang kau dustakan?

Bunda sayang.......
Saat kau merasa kelelahan
Mengejar buah hati yang aktif berlarian
Membuat barang menjadi berserakan
Menyulap ruang menjadi berantakan
Menarik apapun yang berada dalam jangkauan
Maka ingatlah disana
Ada bunda yang tengah berjuang mati-matian
Untuk sekedar mengajarkan anaknya duduk tanpa sandaran
Ingatlah disana
Maka kesulitanmu kan terasa begitu picisan
Maka nikmat Tuhan manalagi yang kau dustakan?

Bunda sayang
Saat kau merasa tak lagi sabar
Mengajari anak-anakmu belajar
Merangkai huruf dalam kata
Mengerti logika matematika
Maka ingatlah disana
Ada bunda yang tengah mengenalkan benda
Menuntun ananda mengenal dunia
Meski hanya lewat indra peraba

Ingatlah disana
Maka kesulitanmu kan terasa begitu picisan
Maka nikmat Tuhan manalagi yang kau dustakan?

Bunda sayang
Jika kau merasa kesal setengah mati
Mendengar rengekan ananda yang tak kunjung henti
Meminta sesuatu yang tak terpenuhi
Sementara kantukmu tak mampu tertahan lagi
Maka ingatlah disana
Ada bunda yang berusaha meraih arti
Dari ananda yang tak bersuara atau berbunyi
Kecuali berkata dengan isyarat jari
Ingatlah disana
Maka kesulitanmu kan terasa begitu picisan
Maka nikmat Tuhan manalagi yang kau dustakan?

Bunda sayang
Saat kau merasa kesal mencuci
Tumpukan pakaian kotor sang buah hati
Bernoda cat, tanah lumpur atau oli
Yang tersisa saat bereksplorasi
Maka ingatlah disana
Ada bunda yang masih harus merawat remaja
Yang belum mampu bersuci sendiri dari istinja
Bahkan kemampuannya setara balita
Ingatlah disana
Maka kesulitanmu kan terasa begitu picisan
Maka nikmat Tuhan manalagi yang kau dustakan?

Bunda sayang...
ternyata kesulitan ini begitu picisan
Begitu picisan untuk dihadapi dengan tangisan
Begitu picisan untuk dihiasi dengan keluhan
Apalagi diakhiri dengan perpisahan

Bunda sayang...
Pun jika kau merasa menjadi bunda yang kumaksudkan
Dikaruniai ananda yang istimewa dalam kebutuhan
Maka ingatlah bahwa takkan Tuhanmu memberi beban
Diluar batas kemampuan
Maka berbahagialah karena engkau yang dipercaya
Mengemban amanah yang luar biasa
Dan merekalah karunia
Yang insya Allah kelak memudahkanmu menuju surga

#Batam, dalam kebuntuan nulis sinopsis

Senin, 03 November 2014

Antara Muzammil, Sepeda Tinggi dan Tempe

Sepulang dari kampus semalam, Abahnya anak-anak menunjuk  sebuah sepeda di depan pagar. Sepeda putih bergaris biru berlabel wimcycle itu tampak fresh. Masih baru.
"Sepeda mahal nih, Bi," aku mengomentari.  Lalu segera masuk rumah.

Beberapa saat setelahnya kami bertukar cerita, tentang kejadian seharian itu, spesial topik tentang anak-anak. Betapa mereka semakin pintar, semakin sholih, menggemaskan sekaligus menyejukkan mata.   Walaupun kadang berlaku sedikit menguras energi dan emosi, wajarlah, mereka masih di fase pertama kehidupan.
Teringat tentang sepeda di depan pagar tadi, kami sama-sama memaklumi keinginan besar anak-anak untuk punya sepeda baru yang lebih tinggi, sepeda anak-anak yang beroda dua,  karena Irsyad sudah bisa mengendarainya.  Berulang kali dia dengan bangga menyampaikan kepada kami kalau dia sudah bisa naik sepeda tinggi. Kami paham maksudnya,tak lain  minta dibelikan sepeda baru.  Beruntungnya anak-anak sudah mulai bisa mengendalikan keinginannya dan memahami kondisi kantong kami.  Permintaan-permintaan yang belum bisa dipenuhi tidak lantas menjadikan mereka patah semangat atau melampiaskan dengan perilaku tantrum.  Hmm, senangnya punya anak yang pengerrtian begini, hehe.

Sepeda di depan pagar yang tadi kami lihat adalah sepeda baru anak tetangga.  Selalu saja ada barang baru dan berkelas yang membuat kepingin anak-anakku.

***

Pagi ini, mereka kembali bertutur tentang sepeda baru itu.  Aku pura-pura belum tahu dan menanggapi dengan antusias. Semalam, saat aku pulang, anak-anak memang sudah tidur.  Sembari menyantap martabak, aku menjalankan trikku untuk  mengawal anak-anak mengulangi buku Iqro mereka.  Anak-anak lanang ini lumayan lasak, setiap pagi ada saja alasannya untuk menggeser waktu belajar.  Jadi aku menuliskan halaman yang harus mereka baca di papan tulis dan kami duduk membacanya bersama-sama.  Tak terkecuali Utsman.

Pedang plastic berubah menjadi penunjuk baris yang harus dibaca.  Utsman, Umar dan Irsyad merubung di depan papan tulis. Antusias.  Aku tersenyum.
Irsyad mulai 3 baris pertama. Oya, dia sudah Iqro 4 sekarang. Selanjutnya jatah Umar, mengulangi huruf-huruf hijaiyah sampai kho.  Diikuti Utsman yang selalu tampak bersemangat kalau ketemu pensil, pena atau spidol dan buku Iqro. Begitulah suasana kelas kami pagi ini.
Selanjutnya, aku menuliskan surat Al Muzammil, surat yang sempat tertunda menghafalnya karena beberapa kali kelas libur. Aku menuliskan ayat ke-10 sampai 12. Membacakannya dihadapan anak-anak dan meminta mereka mengikuti bacaanku.  Hal yang kemudian mengusik perhatianku adalah kenyataan bahwa Irsyad sudah menghafalnya dengan hampir sempurna.  Ia membaca, membaca dan membaca terus lanjutannya dan aku menyimak bacaannya sambil memegang mushaf.  
Ternyata bacaannya nyaris benar semua, hanya sedikit kekeliruan semisal tasydid, atau huruf-huruf yang terdengar mirip yang membuatku harus mengoreksinya. 
Subhanalloh… anak ini benar-benar membuatku takjub.  Ternyata, rekamannya kuat sekali. Padahal akhir-akhir ini aku jarang memutar lagi Al Muzammil. 
Tanpa kusadari mataku berair, aku terharu dan bangga. Aku merangkum wajahnya dengan kedua tanganku, menciuminya dan memanjatkan doa sekaligus ungkapan kekagumanku padanya.  Ia tersenyum malu-malu. Hmm, seperti biasa dilakukannya tiap kali aku … padanya.
Saat aku menawarinya hadiah buat prestasinya itu, dengan mata berbinar dan ucapan riang dia menjawab,”TEMPE!”

Haaaahhh??? Kukira dia akan meminta sepeda baru. 
Lagi-lagi aku terharu.  Anak ini qona’ah.  Dia tidak menjadikan prestasinya itu harus dihargai dengan apapun keinginan terbesarnya.  Walaupun aku tahu, dia sangat-sangat ingin sepeda tinggi seperti punya anak tetangga itu.
“Di warung tadi gak ada tempe, kalau diganti yang lain apa?”
“Emmm…”, dia berpikir beberapa jenak, lantas kembali berucap riang, “SOYA!”
Dalam tawa lepasku, diam-diam aku bersyukur memiliki Irsyad. Sekali lagi aku mengecup kepalanya. Berdoa semoga dia dan saudara-saudaranya senantiasa menjadi penyejuk mata dan hati kami.



Batam, 30 Oktober 2014
#met menikmati soya ya Nak J

Senin, 20 Oktober 2014

Pada Dhuhur Suatu Siang

Siang terik. Masjid sudah mengumandangkan lantunan ayat suci Al Quran.  Sebentar lagi adzan dhuhur akan memanggil.  Aku melongok ke lapangan.  Sepi.  Entah kemana dua jagoanku bermain sedari tadi.
Dulu, pesan yang selalu diingat mereka adalah "Kalau sudah adzan harus pulang." masih ampuh.  Bahkan ketika ketiganya sempat "hilang" bermain sampai jauh ke kompleks tetangga, aaku masih menjumpai mereka teguh memegang pesan itu.
Namun pertambahan usia sepertinya juga semakin membuat mereka makin berani bereksplorasi, berani berpendapat dan mulai berani menentang petuah-petuah yang menurut mereka tidak sesuai dengan keinginan mereka.
Sebagai contohnya saja, aku selalu mengingatkan anak-anak untuk pulang ke rumah jika di masjid sudah mulai ngaji. Namun, belakangan, hal itu nyaris sudah tidak digubris, kecuali setelah aku menggiring mereka pulang dan masuk ke rumah.  Kadang bahkan usai adzan pun, belum nampak juga batang hidung mereka.
Siang itu, setelah menemukan mereka, aku menggiringnya pulang, mengunci pintu pagar dan pintu depan.
"Main di dalam rumah saja," begitu aku membujuknya.
Keduanya menurut masuk, namun masih melongok ke luar melalui jendela.
Suara adzan yang berkumandang sepertinya membuat resah mereka.
"Umi, sudah adzan," begitu Irsyad berucap.  Sepertinya dia berusaha menyampaikan aspirasinya.
"Ayo berwudlu, segera sholat."
"Mas mau sholat ke masjid."
"Sholat di rumah saja sama Umi.:
"Kan kalo laki-laki harusnya sholat di masjid." Dia mulai berrargumen.
"Iyya, kalau sama Abi boleh.  Sekarang kan Abi masih di sekolah. Jadi mas-mas sholat di rumah saja sama Umi."
"Mas kan bisa sholat ke masjid sendiri.." Dia mulai ngotot.
"Umi bilang sholatnya di rumah saja, kalau gak ada Abi nanti kamu bukannya sholat, malah main-main, ngeganggu bapak-bapak. Kalau kamu lakukan, Umi-Abi nanti yang berdosa. Sholat di rumah saja ya, Nak?" Aku mengusap kepalanya.
Sepertinya dia menerima argumenku. Lalu bersegera berjalan ke kamar mandi untuk berwudlu.
Sesi berikutnya adalah rebutan jadi muadzin. Masalah klasik. Selalu saja tiap kali mau berjamaah, Irsyad dan Umar berebutan mengumandangkan adzan dan iqomat.  Sebagai anak yang baru lepas batita, Umar selalu lebih ngotot dan tak mau diatur. Dia langsung mengambil posisi di dekat tembok dan meneriakkan adzan plus qomatnya. Masnya, mulai memerah mukanya, dia tidak kebagian pahala, hehe.
Perseteruan berikutnya adalah pemilihan imam. Irsyad beranjak ke posisi lebih depan untuk menjadi imam, tapi Umar tidak rela sehingga trjadilah dorong-dorongan dengan emosi.
Aku melerai dengan memberikan keputusan bahwa akulah imamnya.
"Imamnya Umi, mas-mas silakan berdiri di belakang Umi."
Keduanya protes karena merasa lebih berhak menjadi imam. Duh, jundi-jundiku ini, mau sholat jamaah saja pakai bertengkar. Aku kehabisan waktu untuk membujuk dan langsung mengumandangkan takbir.
"Allohu akbar." Sholat dimulai.
Kukira mereka akan bergegas mengikutiku. Ternyata aku salah besar.
Jadilah, siang itu sholat dhuhurnya sendiri-sendiri. Anak-anak membaca dengan suara keras bacaan sholatnya, berasa mereka menjadi imam.  Dan bacaan sholatnya membuatku merasa tertendang.
Tahu sebabnya?
Rakaat pertama, ku baca surat al Fiil. Kudengar Irsyad membaca Al Insyiroh.  Sama-sama berawalan alam, tapi surat yang dibacanya lebih panjang. Dari sisi lain kudengar juga Umar membaca Adh Dhuha.
Rakaat kedua, aku membaca An Naas. Irsyadku ternyata melantunkan al Insan. (Hwaaahhh... aku belum hafal surat ini satu ayatpun. Sekalinya aku pernah membacakan ayat yang pertama surat ini, Dia mengoreksiku, gak begitu Mi, bacaan Umi salah, begitu ujarnya.) Sementara itu Umar melantunkan surat Al Qiyamah dengan lantang dan lancar. Maka makin merasa terpuruklah aku.
Rakaat ketiga dan keempat kuselesaikan. Umar sholat hanya dua rokaat, sementara Irsyad melantunkan surat al Qiyamah di rokaat ketiga dan surat Al Fajr di rokaat ke empat. Weew, bener-bener aku seperti terperosok ke dalam lapisan bumi terdalam. Maluuu banget.
Sepertinya, kalau berada di gerbong kereta, akulah di urutan terakhir...
Sepertinya, sebagai ibu, akulah yang harus lebih mengejar ketertinggalan dibandingkan mereka.


Batam, 201014

Kamis, 14 Agustus 2014

Ketika Anak Bicara Tentang "Kenyamanan"

Suatu sore.
"Umi, Umi nanti beli mobil lah, kayak mobilnya Pak X," Begitu tutur jagoanku sore itu.
Aku tersenyum-senyum.  Bukan kali pertama dia menyampaikan aspirasinya.  Sudah sangat-sangat sering anak-anak meminta diadakan benda ini, dengan berbagai alasan.
Yang kuingat diantaranya:
"Biar kalo pergi-pergi, Mas dan Kakak gak ditinggal."
"Motornya kan udah gak muat!"
"Kan enak Mi, bisa duduknya sambil nyandar, kalo ujan gak kebasahan."
"Keren Mi, apalagi kalo warnanya merah."
de el el, de es te...
Bahkan di usia 3 tahunnya Irsyad sering pergi-pergi dengan membawa kunci.  Kalo ditanya, dia menjawab, "kunci mobil". hehehe...

Kali lain,
"Umi, waktu Kakak sama Mas dititip di rumah Bude tu, enaakk.."
"Enaknya gimana?"
"Kan boboknya di kamar Mbak Ia. Nah, kamarnya itu ada ACnya Mi. Seeejuuukkk..." Gayanya menikmatiii banget.
Aku tersenyum.
"Iya kan Syad?"
Hm, Dia mencari dukungan.
"Iya. Kamar kita dipasangi AC juga lah Mi." Ini Irsyad yang usul.
"Lho, ini kan bukan rumah kita, ini rumahnya Pak De. Kan harus ijin dulu sama yang punya rumah."
"Ya, Umi bilang lah sama Pak De."
"Kapan-kapan saja lah ya, pasang ACnya? Mungkin nanti kalau kita sudah punya rumah sendiri."
Keduanya mengangguk, walau nampak kecewa.
"Yang penting, Kakak dan Mas, rajin sholat, berdoa, minta sama Alloh biar dikasih rejeki yang banyak, biar bisa beli apa-apa yang tadi dipengeni." Aku mengelus kepala keduanya.

Berlalu dari mereka, aku meringis sendiri.  Betapa anak-anak sekarang sudah berbeda wawasannya, cara berpikirnya dan keinginannya.  Tidak sekedar terpenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersier, tapi sudah bicara tentang rasa nyaman.  Dan ini sebetulnya hal yang mendasar.  Bahwa ada hal mendasar yang sebetulnya kadang tidak terpikirkan oleh kami, selaku orang tuanya.  Bukan untuk perstise atau keren-kerenan, tapi untuk kenyamanan.
Lagi-lagi aku meringis.  Beli mobil, beli AC, bisa saja diagendakan. Tapi apa nanti tetangga gak pada heboh yak?

Batam, 140814
Milad ke-36 Ummi




Kamis, 08 Mei 2014

Discovery Learning

#Fragmen 1#
Suatu siang.
"Ummi, lihat, kami punya sesuatu."
Sulungku yang baru berusia 5 tahun itu membawa sebuah gelas bekas air minum kemasan.  Tampak benda-benda yang disebutnya"sesuatu" penuh termuat dalam gelas itu.
"Sesuatu apa, Kak?" Aku menghentikan aktivitasku mencuci peralatan makan. Mengalihkan perhatian sepenuhnya padanya.
"Ini, dipetik dari daun-daun di pohon." Dia mengangsurkan gelas yang dipegangnya. "Ada isinya, putih-putih loh Mi."
Aku mengamati gulungan-gulungan hijau di dalam gelas.
"O, ini kepompong. Kakak dapat dari mana?"
"Dari pohon jambu, masih banyak di sana." Dia melangkah meninggalkanku, menuju halaman depan yang masih ramai dengan teman-temannya.
Aku bergegas menyusulnya. Beberapa anak balita yang sedari tadi bermain di sana masih terlihat aktif memanjati pagar, naik ke kursi dan memegang gagang sapu. Tampak daun-daun jambu yang hijau berserakan di sekitar mereka.
Hmm, ternyata mereka tengah berburu kepompong.
"Hai!" Aku berhenti di depan pintu.  "Jangan dipetikin kepompongnya."
"Kenapa Mi?"
"Biarkan dia di daun, nanti kalau sudah waktunya, yang putih-putih di dalamnya itu akan jadi kupu-kupu."
"Kupu-kupu, Mi?" mereka seolah tak percaya. Mungkin tak masuk di akal mereka bagaimana bisa sebuah kepompong menjadi kupu-kupu.
"Iya, kepompong itu berasal dari ulat.  Ulatnya makan yang banyak, trus dia puasa.  Nah selama puasa dia berdiam di dalam daun kayak gitu sebagai kepompong. Nanti, kalau sudah waktunya, dia akan keluar menjadi kupu-kupu." Aku memandangi raut mereka yang sepertidnya bengong.
"Emm, kayak yang pernah kita tonton di Upin-Ipin itu..." aku mengingatkan.
"Oh, iyya!" seketika mereka berseru girang.  Sepertinya mereka merasa tercerahkan, hehe.
Siang itu menjadi kenangku tentang pembelajaran metamorfosis pada anak usia dini. :)

#Fragmen 2#
Malam itu, kedua jagoanku ikut menjemputku  ke kampus. Irsyad yang membonceng di tengah sibuk berceloteh tentang apa saja.  Aku memeluknya sambil sesekali menciumi rambut wanginya.  Aku tahu dia senang diperlakukan begitu.
"Ummi," Dia memainkan jari tangannya, "Mas sudah tahu kalau kayak gini itu tiga." Dia mengacungkan jari telunjuk, jari tengah dan jari manisnya. Aku tertawa dan memujinya.
Bukan hal yang baru dia bicara begitu.  Sudah sering kali dia membuat bermacam-macam tiga dengan jari tangannya.  Tapi tetap saja aku merasa perlu menghargai kreativitasnya.
"Ummi, kayak gini juga tiga," Diacungkannya jadi telunjuk, tengah dan kelingkingnya. Aku mendekapnya.
"Kayak gini juga tiga," Kali ini dia membuat kombinasi tiga dari jempol, telunjuk dan kelingking.
"Trus begini juga tiga," Dibuatnya formasi yang lain.
Kali ini aku tak bisa menahan kekagumanku.
"Mas hebat, pinter!" Dia tersenyum.
"Nah, sekarang Mas sudah tahu bahwa tiga itu bisa dibuat dari berbagai kombinasi jari. Coba kita hitung ya, ada berapa kombinasi yang mungkin. Pertama begini, trus begini, trus begini juga tiga, habis itu begini...
Jumlahnya bisa dihitung dengan faktorial " Aku menghentikan ucapanku melihat dia cuma melongo. Lalu tersenyum mengingat usianya yang baru empat tahun.
Akhirnya aku cuma berujar,"Nah, yang tadi itu namanya kombinasi jari!"
Wooww, dalam hati aku nyengir sendiri. Anak ini mengaplikasikan materi kombinasi (salah satu materi matematika di level SMP dan SMA) di usia 4 tahunnya.  Dan aku tidak mengajarinya.  Dia menemukan sendiri.

Dari sekian banyak aktivitas dan kreatifitas anak-anak kita, merupakan aplikasi dari berbagai topik pembelajaran yang pernah kita jumpai di berbagai level sekolah.  Seperti dua topik di atas.  Kalau dilihat dari teori pembelajaran, model pembelajaran seperti itu dikatakan sebagai discovery learning atau model belajar penemuan.

Teori belajar ini dikembangkan oleh Bruner, seorang ahli psikologi perkembangan dan ahli psikologi belajar kognitif.  Menurut Teori Bruner, anak tumbuh melalui tahapan-tahapan yang berbeda yang didasarkan pada penampilan mentalnya.
Adapun 3 tahap itu adalah:
1. tahap penampilan mental enaktif dimana anak mengembangkan keterampilan sensori motorik.
2. tahap penampilan ikonik dimana mental anak dipengaruhi oleh persepsi yang sifatnya egosentris dan tidak stabil.
3. tahap simbolik dimana anak mencapai pengembangan keterampilan berbahasa dan kemampuan mengaitkan dunia luar dengan kata-kata dan idenya.

Menurut Bruner, sejak kecil, anak sebenarnya sudah dapat menangkap konsep-konsep IPA. Misalnya, apabila seorang anak diberi tahu bahwa api itu panas, kemungkinan besar dia akan segera lupa atau tidak peduli.  Tetapi ketika suatu ketika anak memeagang api dan merasakan panasnya, kemungkinan besar, dia akan terus mengingatnya.

Model discovery learning dapat dipandang sebagai suatu proses belajar yang terjadi apabila siswa (anak) tidak dijejali dengan konsep, melainkan dia sendiri yang mengelola nformasi sehingga menemukan konsep tersebut.  Pembelajaran dengan model ini akan lebih mudah diingat oleh anak dan informasinya akan disimpan lebih lama.  Pembelajaran berdasarkan penemuan akan lebih meningkatkan penalaran, mengembangkan kemampuan anak untuk berpikir secara bebas dan menumbuhkan kemandirian anak dalam belajar. Model penemuan ini juga dapat mengubah motivasi belajar pencarian pujian dari luar (motivasi ekstrinsik) ke kepuasan batin (motivasi intrinsik).

Pada model discovery learning ini, guru atau orang tua  berperan sebagai guide (penuntun dan pengarah) bagi siswa/anak yang mencari informasi, jadi bukan sebagai pemberi informasi.  Walaupun mungkin cara belajar ini butuh waktu agak lama dan sedikit ribet (karena harus mengarahkan anak ke arah yang benar), tetapi banyak pendapat yang menyatakan bahwa model ini banyak dirujuk dalam pembelajaran.

Referensi: Rokiyah & Ketut Budiastra, 2013, Teori Belajar dalam Pembelajaran IPA di SD

Jumat, 21 Maret 2014

Kebakaran Hutan, Musnahnya Pabrik Oksigen Kita.

Memasuki bulan ketiga di tahun 2014, penduduk Batam masih menantikan datangnya hujan. Hujan yang menyirami bumi Batam, yang akan mengikis asap dan debu, membasahi tanah dan rerumputan, memuaskan dahaga tetumbuhan dan manusia-manusia yang kegerahan, menyegarkan kembali udara yang sekian lama terakumulasi polusi.
Beberapa bulan terakhir ini, kondisi atmosfir Batam, sangat tak bersahabat. Udara panas membuat gerah. Angin yang cukup kencang menerbangkan debu dan serpihan yang berbobot ringan, membuat udara menjadi terasa sesak.  Hujan yang biasanya sudah turun, hingga hari ini belum juga hadir. Jalanan di beberapa kawasan dekat hutan lindung yang biasanya selalu segar dan nyaman, kini mulai terasa berbeda. Asap dan jelaga dari kebakaran hutan membuat pagi tak lagi berseri.  Udara pagi tak lagi segar.  Bernafas pun tak lagi  nyaman dan menyegarkan rongga dada.
Pemberitaan di media juga melaporkan kondisi Riau dan pulau Sumatera yang bahkan lebih parah. Kabut asap dimana-mana, menyisakan sesak dan aroma sengit bau bakaran yang bersumber dari ratusan titik api, menghalangi jarak pandang dan mengganggu penerbangan. Memprihatinkan. TV One memberitakan bahwa Riau saat ini sudah tak layak huni karena hanya 5% udara bersih yang bisa dihirup.
Perkembangan teknologi  yang dimiliki manusia kian hari kian meningkatkan interaksi manusia dengan 3 media lingkungan, tanah, air dan udara.  Bukan hanya sekedar untuk memnuhi kebutuhan dasar sumberdaya untuk menjalani hidup, namun interaksi ini bahkan telah merambah pada kebutuhan sumberdaya untuk menikmati hidup. Akibatnya eksploitasi terhadap ketiga media lingkungan itu, kian meningkat pula.
Sebagian besar udara kita terdiri dari dari campuran gas, terutama nitrogen, oksigen, karbon dioksida dan uap air. Oksigen dibutuhkan oleh semua makhluk yang aerob untuk bernapas, karbon dioksida dibutuhkan dalam fotosintesis tumbuhan, nitrogen bermanfaat dalam metabolisme bakteri nitrat.
Keberadaan udara (atmosfir) telah dieksploitasi manusia dalam berbagai kebutuhannya menjalani hidup. Menurut Mariyam (2012) ada 6 bentuk eksploitasi udara oleh manusia, yaitu: (1) Sumber oksigen untuk pernafasan, (2) tempat pembuangan karbondioksida sisa pernafasan, (3) tempat pembuangan uap air yang dilepaskan dari pernafasan dan berkeringat, (4) tempat pembuangan limbah yang berupa asap, gas dan partikel halus (butir-butir debu) (5) untuk komunikasi fisik dengan pesawat udara dan (6) untuk komunikasi elektromagnetik melalui radio, televisi, radar dan telepon melalui satelit komunikasi.  Semua bentuk eksploitasi ini berpotensi menyebabkan pencemaran udara.
Setiap waktu kita bernafas, seorang dewasa menghirup kira-kira 3.000 gallon (11,4 meter kubik) udara tiap hari. Udara yang kita hirup jika tercemar oleh bahan berbahaya dan beracun akan berdampak serius pada kesehatan. Walaupun tidak terlihat secara kasat mata, pencemar udara mengancam kehidupan kita dan makhluk hidup lainnya.
Saat ini, atmosfir kita tak ubahnya “keranjang sampah”. Pengotoran atau pencemaran udara dapat terjadi karena peristiwa alam yang memang bersifat alami, misalnya hujan abu karena gunung meletus, suhu dan gelombang panas, asap karena kebakaran hutan.  Namun penyebab pencemaran paling besar adalah manusia.  Menurut Mukono (2010), beberapa jenis pencemar udara yang perlu dicermati adalah: (1) benda partikulat atau jelaga atau asap, merupakan pencemar yang paling mudah terasakan dan paling berbahaya karena partikulat yang halus dapat menelusup hingga ke alveoli paru-paru; (2) sulfur oksida, SO2; (3) Karbon monoksida, CO; (4) nitrogen oksida/dioksida (NOx); (5) Karbon dioksida, CO2; dan (6) Hidrokarbon (HC).
Parameter pencemar udara yang perlu diperhatikan terkait dengan penyakit saluran pernapasan adalah benda partikulat/debu, gas SO2, gas NO2 dan gas CO. Jenis pencemar ini umumnya dihasilkan dari proses industry, pembakaran sampah padat, pembakaran sisa pertanian, transportasi, bahan bakar minyak dan batubara, incinerator dan kebakaran hutan.
Secara umum, efek pencemaran udara terhadap saluran pernafasan dapat menyebabkan terjadinya iritasi pada saluran pernapasan, meningkatkan produksi lendir akibat iritasi oleh bahan pencemar sehingga dapat mempersempit sauran pernapasan, rusaknya sel pembunuh bakteri di salauran pernapasan, pembengkakan saluran pernapasan, lepasnya silia dan selaput lendir yang kesemuanya akan berujung pada infeksi saluran pernapasan (Mukono, 2010).
Ditinjau dari kondisi media lingkungan manapun,-tanah, air, udara- saat ini semua serba mengkhawatirkan. Pencemaran melingkupi tanah, air dan udara di sekeliling kita. Kekeringan, musim hujan yang terlambat datang, krisis air bersih, krisis udara bersih, cuaca yang menyengat, banjir, tanah longsor, semuanya,  jika kita cari benang merahnya bersumber dari tergerusnya areal hutan di sekitar kita.
Hutan, satu-satunya areal yang bisa mempertahankan kadar oksigen di atmosfir saat ini makin berkurang jumlahnya. Alih fungsi hutan dengan dalih pembangunan, pembalakan hutan dan kebakaran (atau pembakaran?) yang mencapai ratusan hektar di wilayah Kepri dan Riau daratan, telah memicu krisis udara bersih yang berimbas secara langsung maupun tak langsung pada keberlangsungan hidup makhluk yang bernama manusia. Udara bersih menjadi barang langka saat ini.  Padahal, kita memerlukan udara bersih setiap saat. Pada udara bersih kita dapat bernafas dengan nyaman, suhu udara keseharian tidak menyebabkan kita kegerahan di siang hari atau terlalu kedinginan di malam hari.  Tidak ada bau yang tidak sedap atau bau-bau aneh lainnya yang merangsang kita untuk batuk. 
Kebakaran hutan telah membuat sekian banyak jiwa manusia resah. Tingginya kadar partikulat/debu biasanya diikuti dengan  tingginya gas sulfur dioksida. Kedua bahan tersebut diketahui bekerja secara sinergis untuk menghambat pergerakan silia sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernapasan.  Bahkan lebih jauh dapat mendorong partikulat tersebut lebih banyak masuk ke paru-paru. Tak heran, jumlah pengidap ISPA akhir-akhir ini meningkat drastis.  Belum lagi penyakit kulit, mata dan asma yang muncul karena tingginya kadar pencemar dalam udara.
Rentetan bencana yang menimpa Indonesia, seharusnya menjadikan kita, warga Bumi Indonesia, bermuhasabah. Apa yang salah? Mengapa alam sekarang jauh dari bersikap ramah kepada kita? Mungkin kita selaku manusia sudah terlampau pongah. Sehingga alam dengan berbagai mekanismenya menegur kita. Tuhan memainkan tangan-Nya melalui teguran-teguran bijak-Nya. Lantas, mengapa kita masih larut dalam keangkuhan dan ketidakpedulian tentang lingkungan kita sendiri? Bumi kita sendiri? Hidup kita sendiri? Nasib kita sendiri?
Harus disadari, pencemaran udara sangat berpengaruh pada kenyamanan dan kesehatan manusia dan lingkungan. Partisipasi masyarakat, seberapapun kecilnya, akan memberi arti yang besar bagi terciptanya udara bersih-berkualitas yang kita dambakan. Namun hal ini dibutuhkan prakarsa, fasilitas dan penampungan kegiatan oleh pemerintah. Partisipasi masyarakat akan menjadi lebih besar jika masyarakat termotivasi.  Berbagai kegiatan kepedulian lingkungan yang digagas dan dilakukan oleh masyarakat akan makin berkembang jika pemerintah mau peduli, memfasilitasi atau mengapresiasi.
Seperti dikemukakan di atas, hutan kita perlu uluran tangan kita. Hutan, pabrik oksigen kita, pabrik air bersih kita, pengatur iklim mikro kita, kekayaan flora dan fauna kita, menantikan kepedulian kita. Kepedulian kita pada hutan, berarti kepedulian kita pada bumi, pada sekian banyak nyawa di permukaan bumi.
Perlu kita cermati, kebakaran hutan yang terjadi dan meluas akhir-akhir ini tak akan selesai, jika kita masih saja berpangku tangan, saling tuding atau lempar tanggung jawab. Pemusnahan pepohonan akibat kebakaran secara hitung-hitungan tentu saja jauh lebih cepat dibandingkan pertumbuhan pohon baru yang membutuhkan waktu bertahun-tahun. Perlu kita cermati, Kita bisa saja memilih baju yang akan kita pakai, air yang akan kita minum, dan makanan yang akan kita makan. Tetapi tidak bisa memilih udara yang kita hirup. Saat ini, mungkin kita masih bisa menggunakan masker atau alat pelindung pernapasan lainnya.  Bukan tak mungkin, kelak kita harus memanggul tabung oksigen kemana-mana, jika saja laku kita masih tak berubah.


Selasa, 21 Januari 2014

KOMPETENSI

#Fragmen 1
Seorang wanita muda, asyik bercuap-cuap di depan sekelompok orang, audiensnya, yang berbeda latar belakang pendidikan. Temanya tentang pendidikan. Tepatnya pendidikan anak. Berbagai teori dikemukakan, berdasarkan referensi dari literatur terkini.
Untaian kalimatnya begitu mempesona.  Disertai dengan contoh-contoh kasus bagaimana cara SEHARUSNYA memperlakukan anak, mendidik anak dan menyikapi semua tingkah pola anak.
Sepertinya sangat SOLUTIF, dan bisa dijadikan rujukan dalam berinteraksi dengan anak-anak.
Sebagian audiensnya tampak kagum.  Sebagian lagi menganggap biasa.
Ketika perbincangan makin menghangat,  seorang audiensnya mengangkat tangan dan buka suara.
"Maaf, Ibu kalau saya boleh tahu, Ibu anaknya berapa orang?"
Si Pembicara tergeragap. Kaget. Mungkin tak menyangka kalau seperti itu justru pertanyaan yang keluar dari bibir audiensnya.
Pertanyaan yang sebetulnya mungkin tak pernah ingin didengarnya. Satu saja sebabnya, karena DIA BELUM MEMILIKI ANAK.

#Fragmen 2
Seorang wanita paruh baya, dengan sangat mantapnya berbicara tentang cinta. Satu kata yang tak pernah habis untuk dijabarkan dalam ucapan dan tulisan. Satu kata yang tak pernah membosankan untuk ditinjau dan diperbincangkan.
Kajian cinta sore itu meluas dari definisi cinta hingga ke ranah yang cukup mendalam. Cinta pasangan suami-istri.  Pembicara ini, menyitir pendapat-pendapat para filsuf tentang cinta. Menyampaikan dengan sangat meyakinkan ulasan tentang cinta suami-istri menurut si A, si B dan si C.
Sebagian audiensnya hanya memandangi, setengah melongo, antara paham dan tidak uraian dari mentor cintanya.
Dari pojok belakang, seorang lelaki gempal mengangkat wajahnya dari tugas-tugas yang tadi ditekuninya.
"Pertanyaannya satu saja. Ibu sudah punya suami belum?"
Gerrrr...Seentak, tawa menggema dalam ruangan itu. Sederhana saja, karena semua orang tahu, hingga saat itu, WANITA ITU BELUM PERNAH MENIKAH.

* * *
Saya tak ingin meledek atau mendiskreditkan kedua wanita di atas. Apalagi mempermalukan. Tidak sama sekali.
Saya hanya ngin mengulas, bahwa ternyata, kita sering kali terlalu banyak bicara, terlalu berlebihan dalam membahas suatu tema yang sebetulnya bukan wilayah kita.  Kalau dalam bahasa kerennya mungkin bisa dibilang "KOMPETENSI".
Hmm, seperti kegiatan belajar saja jadinya.
Tapi memang demikianlah adanya.
Kadang, kita terlalu pede dengan pengetahuan kita, dan enggan membuka keran komunikasi. Merasa kita paling tahu, kita paling benar, padahal di luar sana mungkin masih ada orang yang jauh lebih paham dari kita.

Dua fragmen di atas, mungkin tidak persis seperti itu. Keduanya memang punya bekgron yang mampu menunjang pembicaraan mereka. Wanita di fragmen pertama seorang master psikologi sedangkan di fragmen kedua adalah master filsafat. Keduanya lulusan dari sebuah universitas yang bonafid di pertiwi ini.
Apakah mereka tidak punya kompetensi? Belum tentu juga.

Tetapi sering kali, para master itu begitu sok tahu dan begitu yakin dengan teori-teori yang telah mereka makan selama menempuh pendidikannya. Mereka membuat analisis dan menyimpulkan berdasarkan PENGETAHUAN yang mereka peroleh dari buku-buku, kemudian menjustifikasi bahwa pendapatnyalah yang paling baik.  Mereka mungkin melupakan, bahwa REALITA HIDUP kadang tidak selalu sesuai teori.
Bahwa FAKTA DI LAPANGAN kadang bisa berbeda 180 derajat dengan apa yang dikemukakan di buku-buku yang mereka baca. Praktek, tidak selalu sejalan dengan teori.

Katakan, apakah bisa mengajarkan orang mendidik anak, sementara dia belum punya anak dan tidak pernah menghandel anak-anak didik? Apakah bisa merekomendasikan solusi hidup berumah tangga, seseorang yang bahkan belum pernah menikah?

Kalau sekedar ngomong saja, tentu bisa. Tapi perlu diingat bahwa kehidupan, bukan sekedar asal beres. Bukan sekedar urusan kepala-kepala yang berbenturan. Ada hati, ada rasa, dan mungkin disitulah justru yang menyebabkan sulitnya untuk mencari win-win solution.
Seperti kata tetangga saya, "Ah Jarkoni! Bia berujar tapi tidak bisa ngelakoni".
Saya jadi merasakan, bahwa kompetensi seseorang dalam suatu bidang, bukan saja harus ditunjang dari dalamnya keilmuan secara teori, tetapi juga dari prakteknya.  Urusan interaksi dengan manusia, tak cukup dengan solusi berdasarkan hakikat dan definisi. Butuh sesuatu yang lebih.
Seperti saat kita memberikan saran atau solusi, tentu akan berbeda rekomendasi dari orang yang hanya melihat sisi luarnya saja dengan yang benar-benar menyelami hingga ke dasarnya. Karena kompetensinya itu tadi.
Ah, tiba-tiba saya mau ketawa ketika ingat teman saya di #fragmen 1 itu pernah berkata, "Bu, aku diminta ngisi seminar tentang Laktasi."
Hoalah....




Sabtu, 18 Januari 2014

KB-PAL

Suatu hari...

"Bu, aku kenapa ya, dua hari ini aku nangiisss saja tanpa tahu sebabnya apa?"
"Lha, kok bisa?
"Iyya, aku gak tahu kenapa. Aku sampai lemas, pusing, gak bisa tidur, kayak orang lagi banyak masalah aja.  Padahal aku gak mikirin apa-apa. Gak ada masalah keluarga. Dengan suami dan anak-anak juga baik-baik saja, bisnisku lancar, gak ada yang sepatutnya dibikin sedih."
Aku menatap sosok di sampingku. Menghentikan ativitasku, dan mencoba lebih fokus pada tetangga mejaku.
"Iyya bu, bener.  Aku sendiri gak tahu kenapa.  Apa yang salah ya? Apa aku ada yang jahatin gitu ya Bu?"
Aku mengangkat alis, "Hmm, bisa jadi."
"Bu,  ibu tahu gak orang pinter yang bisa ngobatin sakit kayak gini?"
"Coba diruqyah aja Bu.  Tapi saya juga gak bisa merekomendasikan terapisnya. Ibu ruqyah sendiri aja dengan doa-doa dari Al Quran. Dzikir pagi sore, banyak mengingat Alloh."
"Iya Bu, saya juga berusaha tak lepas dari mengingat Alloh. Saya gak kuat, gak bisa bangun kalau gak sambil dzikir. Ini saja saya memaksakan diri kesini. Pokoknya, saya harus melawan sebisa-bisa saya, biar kondisi saya gak makin kacau."

Pukul 17.00.
Perbincangan itu berlalu karena kami sudah ditunggu.

Beberapa minggu berikutnya.
"Bu, tahu gak?" Adik bungsu Ibu yang di kisah di atas bertanya.
"Nggak.  Ada apa rupanya?" Saya mengalihkan pandangan padanya.
"Bu X, lagi sakit. Kayaknya dibikin orang."
"Hush, dibikin gimana?"
"Dia itu kemarin tiba-tiba kena sakit cacar. Ehm, maksudnya kayak cacar gitu."
"Trus???" Aku penasaran.  Saat itu memang lagi musim cacar, campak.
"Iya, tadinya dikira cacar, karena ada bintil-bintil berisi air gitu, tapi lama-lama membesar dan yang bikin kami heran, bentuknya kayak kalung. Kalau cacar kan pasti bintil-bintilnya acak. Lha ini enggak.  Polanya dia melingkari leher."
"Innalillahi wainna ilaihi roojiuun, Naudzubillah..." dadaku tiba-tiba sesak.
Tiba-tiba aku ingat tuturan Bu X beberapa waktu lalu.

Sore hari, beberapa hari kemudian.
Aku mengulurkan sebuah buku dan sebuah bungkusan, titipan suamiku.
Buku ruqyah syar'i dan bungkusan plastik berisi beberapa helai daun bidara.
"Maaf Ibu, kalau berkenan, tolong Ibu rutinkan membaca dzikir-dzikir seperti yang ditulis dalam buku ini. Usahakan bersuci sebelumnya. Trus, daun ini Insya Alloh berkhasiat mengobati gangguan jin dan sihir. Namanya daun bidara.  Cuma dapat beberapa helai, mudah-mudahan bermanfaat.  Semoga Alloh membantu menyembuhkan."
Benda-benda itu berpindah tangan.
Ibu X membuka-buka buku tersebut, dan bertanya beberapa hal yang dianggap perlu penjelasan.  Aku menjelaskan sebisaku.
Ya Alloh, tolong sembuhkan temanku, bisikku ketika kami berpisah.

Minggu depannya kami bertemu lagi.
"Gimana kabarnya, Bu?"
"Alhamdulillah, Bu. Aku sudah sembuh. Aku ngamalin dzikir-dzikir di buku yang ibu pinjemin itu.
Trus, bintil-bintil itu akhirnya copot, tinggal bekasnya aja nih, kayak habis kena cacar."
Disibakkannya sedikit kerudungnya, dan aku melihat beberapa bekas seperti bekas luka bakar yang sudah terkelupas di seputar lehernya.
"Alhamdulillah...syukurlah kalau sudah sembuh."
"Eng.." Aku ragu antara mau bertanya atau tidak. Tapi rasa penasaran dengan sakitnya mendorongku untuk tahu lebih jauh. Ternyata, aku tak perlu bertanya, beliau sudah bertutur.
"Ih, Bu, aku kok sering dikerjain begini ya. Kayak yang kemarin aku cerita itu, iyya. Trus, yang sakit ini. Trus, kalau aku ingat-ingat, ada beberapa kejadan lagi yang kayaknya gak masuk akal, tapi bener aku alami.  Mungkin ada orang yang iri dengan bisnisku. Jadi ngirimin sakit kayak gini."
"Kayak gini gimana Bu?"
"Kemarin itu, aku baru pulang, trus sambil ganti baju dan nyisir, sambil ngaca. Tiba-tiba, muncul bintil kayak cacar itu di dekat leherku. Waktu itu, aku sempat mikir, eh, apa iya aku kena cacar? Masih mikir dan masih ngaca gitu, tiba-tiba muncul lagi. Kayak disundut rokok gitu, trus melembung. Trus muncul lagi, melembung lagi. Aku sampai panik. Loh, loh, kok begini?
Anehnya, bentuknya itu seperti kalung.  Aku sampai teriak-teriak ke suamiku, "Mas, aku kenapa?"
Antara panik plus takut juga. Tapi gak tau mesti bagaimana."
Aku merinding, sambil istighfar dalam hati. Antara percaya gak percaya. Tapi jadi yakin, karena melihat bekas seperti koreng yang sudah terkelupas seperti yang tadi dituturkannya.
"Kok bisa kayak gitu ya, Bu?"
Aku bingung mau komentar apa.
"Iyya, kayaknya, sejak lama, aku suka dikerjain orang Bu.  Kadang sepertinya gak masuk akal, tapi saya mengalaminya. Cuma saya gak mau cerita ke orang sembarangan, takut dibilang mengada-ada."
"Lha, kok cerita ke saya?" Aku iseng.
Dia tersenyum. "Ibu bisa dipercaya, dan gak mungkin nganggap saya gila."
Waduh! Aku terkekeh.
Dia melanjutkan, "Mungkin karena saya jarang suci juga Bu, jadi yang seperti ini sering terjadi."
"Maksudnya?"
"Dari dulu kan saya ikut KB, macam-macam udah saya coba. Pernah pakai kontrasepsi A, B, C dan D. Nah, efeknya macam-macam. Kadang saya mens sampai 2 bulan. Baru 3 hari suci, trus keluar lagi, satu minggu. Apalagi sejak saya keguguran itu, kan pake B, jadi badan rasanya campur aduk. Saya udah bolak-balik ke dokter untuk periksa, konsultasi dan pengobatan, tapi masih kayak gini juga. Entah, berapa duit udah saya habiskan untuk berobat."
"Emh, gitu ya Bu."
"Iya Bu, KB itu kan cocok-cocokan. Kadang cocok dengan satu orang, tapi dengan yang lain enggak.
Tapi kalau Ibu, kayaknya gak KB ya?" Dia terkekeh.
Saya tertawa.
"Iya Bu, saya gak pake kontrasepsi juga karena alasan itu.  Setahu saya alat kontrasepsi memang bekerjanya mengacaukan hormon. Saya sensitif dengan perubahan hormon. Lagi pula, Alhamdulillah siklus haid saya sangat teratur. Ditawari juga sih sama bidan, bahkan disaranin steril, karena udah punya anak 4, tapi saya dan suami milih yang alami saja. Walaupun beresiko nambah lagi." Saya nyengir.
"Wong yang sudah disteril aja masih bisa nambah, kalau Alloh berkehendak. Saya menjalani sebisa saya saja. Alloh tahu yang terbaik buat kita".
"Iya Bu."
"Eh, tapi saya ikut KB kok Bu. KB-PAL malah." Saya senyam-senyum.
Dia mengernyit, "Apa itu?"
"Hm, Ibu belom pernah dengar ya? KB-PAL itu... Keluarga Berencana Punya Anak Lima, hehe. Mottonya: Dua Anak Lebih, Baik!"
Saya tertawa. Dia tertawa.
"Ah Ibu bisa saja."

***
Kisah di atas nyata adanya.  Mungkin terlalu berlebihan bagi sebagian orang jika mengaitkan KB dengan penyakit seperti yang dialami Ibu teman saya itu. Tapi begitulah adanya.
Wanita, seperti yang dikatakan Rasulullah saw adalah makhluk lemah. Dan kelemahannya itu salah satunya karena ada fase yang membuatnya terpaksa tidak bisa melakukan aktivitas ibadah untuk menguatkan ruhnya. Jadi rentan juga dengan gangguan jin dan sihir.
Bukan rahasia, bahwa berbagai alat kontrasepsi yang ada dan umum digunakan telah menyebabkan berbagai gangguan pada fungsi tubuh wanita. dari yang ringan, misal pusing, sampai yang berat seperti pendaharan atau hamil di luar kandungan.
Saya tidak bermaksud mengompori teman-teman untuk tidak menggunakan kontrasepsi, silakan saja. Itu pilihan Anda dan suami. Tapi, sepanjang bisa diusahakan cara lain, yang relatif aman, saya lebih memilih teknik itu. Toh KB juga tidak jaminan 100% kita tak akan hamil. Seperti yang saya tuturkan, ada juga wanita yang karena sudah puny 5 anak, kemudian memutuskan untuk 'diikat' saluran telurnya, ternyata qodarulloh, hamil lagi yang ke-6. Subhanalloh... Untuk urusan ini memang hak prerogratif Alloh.
Jadi saya pikir, sah-sah saja saya berseberangan dengan banyak orang, bahkan menuai cibiran seperti yang pernah saya ceritakan disini  atau di sini.

Setiap kita boleh memilih. Yang harus kita sadari adalah konsekuensi dari tiap pilihan hidup kita. Saya memilih KB-PAL, tentu harus siap dengan konsekuensinya. Capek, berisik, rumah berantakan, dompet kering, de el el. Tapi bagi saya, semua itu sangat berharga. Menorehkan moment-moment manis dalam tiap langkah hidup saya. Yang jelas, saya akhirnya memilih, mendingan DOMPET yang kosong, ketimbang HATI yang kosong :). Tanpa anak-anak, terasa sepinya dunia.