Selasa, 21 Januari 2014

KOMPETENSI

#Fragmen 1
Seorang wanita muda, asyik bercuap-cuap di depan sekelompok orang, audiensnya, yang berbeda latar belakang pendidikan. Temanya tentang pendidikan. Tepatnya pendidikan anak. Berbagai teori dikemukakan, berdasarkan referensi dari literatur terkini.
Untaian kalimatnya begitu mempesona.  Disertai dengan contoh-contoh kasus bagaimana cara SEHARUSNYA memperlakukan anak, mendidik anak dan menyikapi semua tingkah pola anak.
Sepertinya sangat SOLUTIF, dan bisa dijadikan rujukan dalam berinteraksi dengan anak-anak.
Sebagian audiensnya tampak kagum.  Sebagian lagi menganggap biasa.
Ketika perbincangan makin menghangat,  seorang audiensnya mengangkat tangan dan buka suara.
"Maaf, Ibu kalau saya boleh tahu, Ibu anaknya berapa orang?"
Si Pembicara tergeragap. Kaget. Mungkin tak menyangka kalau seperti itu justru pertanyaan yang keluar dari bibir audiensnya.
Pertanyaan yang sebetulnya mungkin tak pernah ingin didengarnya. Satu saja sebabnya, karena DIA BELUM MEMILIKI ANAK.

#Fragmen 2
Seorang wanita paruh baya, dengan sangat mantapnya berbicara tentang cinta. Satu kata yang tak pernah habis untuk dijabarkan dalam ucapan dan tulisan. Satu kata yang tak pernah membosankan untuk ditinjau dan diperbincangkan.
Kajian cinta sore itu meluas dari definisi cinta hingga ke ranah yang cukup mendalam. Cinta pasangan suami-istri.  Pembicara ini, menyitir pendapat-pendapat para filsuf tentang cinta. Menyampaikan dengan sangat meyakinkan ulasan tentang cinta suami-istri menurut si A, si B dan si C.
Sebagian audiensnya hanya memandangi, setengah melongo, antara paham dan tidak uraian dari mentor cintanya.
Dari pojok belakang, seorang lelaki gempal mengangkat wajahnya dari tugas-tugas yang tadi ditekuninya.
"Pertanyaannya satu saja. Ibu sudah punya suami belum?"
Gerrrr...Seentak, tawa menggema dalam ruangan itu. Sederhana saja, karena semua orang tahu, hingga saat itu, WANITA ITU BELUM PERNAH MENIKAH.

* * *
Saya tak ingin meledek atau mendiskreditkan kedua wanita di atas. Apalagi mempermalukan. Tidak sama sekali.
Saya hanya ngin mengulas, bahwa ternyata, kita sering kali terlalu banyak bicara, terlalu berlebihan dalam membahas suatu tema yang sebetulnya bukan wilayah kita.  Kalau dalam bahasa kerennya mungkin bisa dibilang "KOMPETENSI".
Hmm, seperti kegiatan belajar saja jadinya.
Tapi memang demikianlah adanya.
Kadang, kita terlalu pede dengan pengetahuan kita, dan enggan membuka keran komunikasi. Merasa kita paling tahu, kita paling benar, padahal di luar sana mungkin masih ada orang yang jauh lebih paham dari kita.

Dua fragmen di atas, mungkin tidak persis seperti itu. Keduanya memang punya bekgron yang mampu menunjang pembicaraan mereka. Wanita di fragmen pertama seorang master psikologi sedangkan di fragmen kedua adalah master filsafat. Keduanya lulusan dari sebuah universitas yang bonafid di pertiwi ini.
Apakah mereka tidak punya kompetensi? Belum tentu juga.

Tetapi sering kali, para master itu begitu sok tahu dan begitu yakin dengan teori-teori yang telah mereka makan selama menempuh pendidikannya. Mereka membuat analisis dan menyimpulkan berdasarkan PENGETAHUAN yang mereka peroleh dari buku-buku, kemudian menjustifikasi bahwa pendapatnyalah yang paling baik.  Mereka mungkin melupakan, bahwa REALITA HIDUP kadang tidak selalu sesuai teori.
Bahwa FAKTA DI LAPANGAN kadang bisa berbeda 180 derajat dengan apa yang dikemukakan di buku-buku yang mereka baca. Praktek, tidak selalu sejalan dengan teori.

Katakan, apakah bisa mengajarkan orang mendidik anak, sementara dia belum punya anak dan tidak pernah menghandel anak-anak didik? Apakah bisa merekomendasikan solusi hidup berumah tangga, seseorang yang bahkan belum pernah menikah?

Kalau sekedar ngomong saja, tentu bisa. Tapi perlu diingat bahwa kehidupan, bukan sekedar asal beres. Bukan sekedar urusan kepala-kepala yang berbenturan. Ada hati, ada rasa, dan mungkin disitulah justru yang menyebabkan sulitnya untuk mencari win-win solution.
Seperti kata tetangga saya, "Ah Jarkoni! Bia berujar tapi tidak bisa ngelakoni".
Saya jadi merasakan, bahwa kompetensi seseorang dalam suatu bidang, bukan saja harus ditunjang dari dalamnya keilmuan secara teori, tetapi juga dari prakteknya.  Urusan interaksi dengan manusia, tak cukup dengan solusi berdasarkan hakikat dan definisi. Butuh sesuatu yang lebih.
Seperti saat kita memberikan saran atau solusi, tentu akan berbeda rekomendasi dari orang yang hanya melihat sisi luarnya saja dengan yang benar-benar menyelami hingga ke dasarnya. Karena kompetensinya itu tadi.
Ah, tiba-tiba saya mau ketawa ketika ingat teman saya di #fragmen 1 itu pernah berkata, "Bu, aku diminta ngisi seminar tentang Laktasi."
Hoalah....




Tidak ada komentar: