Minggu, 22 Desember 2019

Anak Tidak Perlu Pintar! Yakin?

Sumber: Google.com
Dua hari ini ramai di beranda imbauan untuk tidak pamer hasil raport anak.
Iya, pekan ini adalah pekan penerimaan hasil belajar anak-anak selama satu semester, pada umumnya. Gak termasuk anak-anak di rumah sih, karena mereka sudah terima raport semester satu di bulan November lalu.

Anehnya, perilaku ini jadi semacam perdebatan yang berkepanjangan di kalangan emak-emak.
Memang, kalo menurutku, Emak-emak Indonesia zaman now ini kelewat baper. Macam-macam yang dibikin viral karena pro dan kontra nya, yang bahkan kadang gak masuk di akalku. Kenapa yang begitu yang mesti dibikin perdebatan.
Gak selesai-selesai pro-kontra, ASI Vs Sufor, Cesar Vs Normal, MPASI home made Vs instant, ibu bekerja Vs IRT. Dah gitu adalagi infused water Vs buah utuh, bubur diaduk sama bubur ga diaduk, kabe gak kabe, bedong ga bedong, dst. Dan anehnya, itu direspon oleh mamak-mamak muda sak Endonesah raya.

Hidup itu pilihan. Dan tiap pilihan punya konsekuensi. Kita juga gak pernah tau, apa alasan di balik pilihan seseorang. Sudahlah... senymin saja, Mak.

Sampai aku berkesimpulan sendiri, Emak-emak Indonesia ini hanya bisa satu kata kalo trending topiknya pelakor dan poligami, hihi...

Bahkan, tadi juga ada pro-kontra urusan ngucapin selamat hari ibu. Waks, receh banget lah. Mungkin itu juga sebabnya kenapa Indonesia gak maju-maju,

Kembali ke urusan perdebatan pamer nilai rapaort.
Menurut aku, itu sih wajar, asalkan caranya juga wajar. Dalam artian gak nyinyirin emak lain yang anaknya gak rangking. Gak terus mengintimidasi anak ketika ternyata hasil raport anaknya tidak seperti yang diharapkan.
Sangat wajar. Itu sebagai bentuk kebanggaaan orang tua yang punya anak berprestasi.
Bukankah kita ini manusia yang egois dan narsis?
Bukankah kita ini butuh pengakuan akan keberadaan kita di atas bumi ini? Bahkan di dunia maya!

Dan tahukah, pengakuan itu bisa menaikkan percaya diri anak loh.
Percaya-gak percaya. tapi aku percaya, karena mengalami sendiri.
Bukannya sombong nih.
Sejak SD, selalu masuk 3 besar, kecuali kelas 1 SD karena memang aku anak bawang yang ikutan sekolah sebelum usia 5 tahun. Sejak kelas 2SD hingga 3 SMA selalu pegang posisi puncak.

Emak dan Pak memang gak pernah pamer. Karena menurut Pak, itu sudah konsekuensi dari kita sebagai pelajar. Segitupun, aku masih dibandingin sama dua kakak perempuanku yang waktu SD dapat beasiswa. Jadi masih gak level lah sama mereka.

SMP dan SMA, sering kali pegang posisi sebagai juara umum. Hadiahnya buku, ahahaha...
Tapi, itupun sudah bikin happy anak perempuan culun dan minderan ini.
Karena, beberapa teman, kadang memilih-milih teman gaulnya. Gak ada yang mau gaul sama anak ingusan yang culun dan tampang biasa saja. Tapi, pasti akan ada yang memilih untuk gaul alias berteman dengan anak pintar.
Walaupun aku gak dikenal sebagai diriku sendiri, sebagai Ismarti. Tapi itu tetap membanggakan. Minimal, aku gak malu-maluin pamor Bapak dan Emak sebagai guru.
FYI, hingga SMA aku lebih dikenal sebagai adiknya Idha yang pinter, manis dan imut, adiknya Irva yang pintar dan kutu buku, anaknya Pak Sohieb dan Bu Ana. Karena sekolahku dan kedua kakakku sama. Sudah gitu, beberapa guru di sekolahku dari SD sampai SMA adalah mantan murid-murid Pak.
Baru pas kuliah merasa mendapat angin surga karena bisa jadi diri sendiri.

Buat Pak dan Mak yang seorang guru, pintar itu wajib. Dan aku setuju banget.
Oleh karenanya, sepanjang masa kuliah S1, awak wajib setor Kartu Hasil Studi atawa KHS tiap semester.
And you know, yang namanya bisa lulus dengan predikat Cumlaude itu membanggakan, tau!
(Walopun banyak juga sih yang lulus dengan predikat itu!)
Tapi Cumlaude-ku itu spesial, sangat spesial karena dikawal sama 3 balita, ahaha..


Oiya, Sempat juga tadi ada trit ekstrim yang bunyinya:

Gak apa-apa kamu gak pintar, Nak, yang penting kamu baik dan punya attitute! 

Anak rangking satu. Tapi sholat gak? Baca Quran gak?


Lha, piye iki?
Itu sesuatu yang berbeda menurutku. Menurutku lho yaaaa...
Boleh gak setuju.

Anak pintar itu kudu, tapi juga kudu baik.
Kalau soal sholat, yaa itu beda! Kalau anaknya kafir, apa iya harus sholat, hehe... Nggak relevan itu konteksnya.

Bukankah orang yang berilmu akan ditinggikan derajatnya dari orang tak berilmu?
Bukankah orang berilmu kalau ngomong lebih didengar oleh khalayak? Kan dia pakar?
Bukankah dengan ilmu, kita akan lebih banyak peluang menebar manfaat?
Bukankah untuk mencari dunia dan akhirat seseorang harus berilmu?

Aneh sekali menurutku, seandainya seorang ibu berucap, "Nak, gak apa-apa kamu bodoh, yang penting kamu baik, gak nyakitin orang, tau adab dan etika."
Lha, kan untuk menerapkan etika dan adab juga butuh ilmu.

Btw, ada gak sih di dunia ini orang tua yang senang kalo anaknya (maaf) bodoh?
Kalau ada, menurutku itu sisa-sisa didikan jaman kolonial. Cuma penjajah yang mau rakyatnya gak pintar, supaya bisa dibodoh-bodohi.


Jangan pasrah jadi orang, Mak.
Anak belum pintar, ya ajarin biar pintar.
Toh pintar itu gak hanya sekedar pelajaran sekolah serupa IPA Matematika.
Yang namanya multiple intelligence itu ada 9 potong pizzanya.
Yang namanya ukuran kecerdasan itu banyak jenisnya. Ada IQ, EQ, SQ, AQ.

Tugas kita selaku Emak adalah menanam, dan membersamai prosesnya. Mengenali bakat dan memaksimalkan potensi yang dimiliki anak. Pastinya ukuran kita, tidak sama dengan ukuran orang lain.
Saya tiba-tiba teringat ucapan ibunda seorang Imam besar kita (Tapi saya lupa siapa), begini katanya:

Semoga dengan bertambahnya ilmumu, bertambah baik juga akhlak dan adabmu.

Di penghujung coretan, saya tiba-tiba tersadarkan, bahwa trit di awal tulisan ini tu, mungkin karena pesimisnya Emak-emak Indonesia terhadap tingkah laku 'orang-orang pintar' di ibu kota sana.
Karena menurutku pintar itu sendiri ada dua, pintar positif dan pintar negatif.
Nah, yang pintar negatif ini termasuklah pintar nipu, pinter bohong atau pintar ngOTAKi kalau kata Wong Plembang.


Sewon, 22 Des 2019