Jumat, 16 Januari 2015

Dua Cita-cita

Tiba-tiba dia muncul menghadang langkahku sambil berkata,"Ummi, kalau cita-cita, boleh dua nggak?"
"Maksud kakak bagaimana?"
"Maksudnya, cita-cita kakak boleh dua?"
"Dua? Boleh saja. Mau dua, mau tiga, mau banyak juga boleh."
"Memang kakak cita-citanya apa?"
"Kakak mau jadi dokter melahirkan sama bengkel"
"Bengkel? Maksudnya?" Aku makin penasaran.
"Iya, bengkel. Kakak udah bisa betulin sendiri sepeda kakak.  Kan tadi itu rantainya copot, terus kakak betulin. Terus, sepedanya sekarang udah bisa jalan lagi.  Jadi kakak nanti mau jadi tukang bengkel juga. Kan udah bisa betulin sepeda." Dia melonjak.
Aku tersenyum-senyum saja.

Jadilah, pagi itu dia membawa sepedanya juga mengitari rute jalan pagi kami.
Ahh.. Kakak, selalu saja ada inspirasi dari celotehnya.
Semoga Alloh menjagamu selalu.

Dia Yang Romantis

Suatu siang, di ruang pelatihan di kampus.
Aku membuka laptop.  sekuntum melati yang mulai mengering menarik perhatianku.  Melati itu sendiri, mulai berwarna kecoklatan. Terselip diantara monitor dan keyboardku.
Aku tak ingat, kapan menaruhnya disana.
Tapi aku tak pernah lupa moment manis di suatu pagi yang cerah.
***

Usai mandi, dia bersegera keluar. Pandangannya menyapu lapangan di depan rumah. Mencari teman yang bisa diajak main bersama.
Tampak seekor kucing milik nenek. Dikejarnya sampai kucing ngibrit masuk ke rumah.  Dan tawa lepasnya memecah sunyi. Begitulah, caranya bercanda.

Dia berpaling ke sisi lain.  matanya mencari-cari sesuatu. Tiba-tiba didekatinya onggokan batu-batu dan kayu di satu sisi lapangan.  Beberapa kawat dan barang-barang sisa renovasi bangunan masih menumpuk di situ.
"Adeekk, tidak boleh memeanjat ke situ." Aku berusaha menggagalkan pendakiannya.
Khawatir ada paku, kaca atau kawat dan batu tajam yang bisa melukai dia.
Dia menoleh sebentar, lalu melanjutkan memanjat gundukan batu di sisi pagar.
"Adek, turun!"
Tak digubrisnya teriakanku.  Dia terus memanjat. Pasti ada sesuatu yang diinginkannya.
"Adek,"aku melunak,"Hati-hati ya!"
Dia tersenyum.

Sesuatu itu digenggamnya, lalu melangkah turun kembali dan berlari mendekatiku.
"Umi, bunga melati ini buat Umi" Diraihnya tanganku. Lalu diciumnya melati yang sudah berada ditelapakku itu. "Hmm...wangi..." Dia tersenyum puas.
Aku terharu.  Jadi ini yang membuat dia mengacuhkan bahaya sejenak tadi.
"Makasih ya Dek..."
"Taruh di jilbab Umi lah," Diselipkannya melati itu ke dekat telingaku. Lalu tersenyum.
"Ummi Cantik," Begitu katanya.
Aku tersenyum. Putraku yang satu ini romantis banget.
"Makasih yaa Mas Umar.  Ummi sayang sama Umar." Aku megecup keningnya.
Dia mengangguk, tersenyum, lalu beranjak pergi.

Ah, Abdulloh Umar, how romantic you are...