Kamis, 03 Mei 2018

Ceritaku: PP

Menunggu pihak di sana menyambut panggilan, tanpa sadar aku mencermati PP yang tampak di layarku.

Sepotong tubuh setengah badan berbalut jasket almamater dan setengah wajah dari dagu berjanggut hingga ke bawah hidung. Samar bayangan kumis tipis dengan bibir tersenyum, mengisyaratkan sosok tersebut tengah bahagia. (Iyyalah.. yang mengambil foto istri tercintanya). Tampak muda dan ceria. Ahaha...

Tanpa kusadari, ingatanku melayang pada peristiwa suatu sore.
Sholihah yang baru pulang sekolah duduk mendeprok di sebelahku yang tengah memotong buah naga. Lalu meluncurlah kata-katanya.
"Tadi, waktu Abi jemput kakak, kan kakak masih main sama teman-teman dan mbak-mbak kelas 5. Terus, mbak itu bilang, " Hasna, abimu ganteng juga ya...?""
Haa? Aku si emaknya cuma melongo.
Yang di sebelahku masih semangat melanjutkan cerita.
Dan entah mengapa, aku merasakan ketakutan yang diam-diam menyusup dalam hati.

*****

"Mas, lagi di mana?" tanyaku begitu telepon tersambung.
"Di sekolah," jawabnya pendek.
"Tadi sms pakai nomer siapa?"
Tak ada jawaban.
"Kok aku telpon ke sana yang angkat perempuan?"
"Pulsaku habis, belom sempat isi. Masih ada kelas habis dhuhur ini."
"Nomer siapa?" Aku memaksa minta jawaban.
"Itu wakakur."
"Kalo sama guru perempuan jangan dekat-dekat."
Dia diam.
"Mas..."
"Ya?..."
"Mas masih ada duit kaan?" aku menggigit bibir.
"Kenapa?"
"Minggu ini jadwal kontrol ke dokter. Duitku tinggal seratus."
Terdengar helaan napas dari seberang.
"Iyya, nanti Mas kirim, insya Allah."
"Terima kasih. Mas sehat-sehat kan?"
"Alhamdulillah."
"Syukurlah. Nanti kalau sudah transfer kabari ya?"
"Insya Allah."
"Aya sama siapa?"
"Tadi pagi tak anter ke nenek."
"Kok gak ke budenya?"
"Bude sekeluarga ada acara partai."
"Ooo... Ciumin buatku yaa... Kangen."
"Siap. Baik-baik di sana."
"Ok. Salam buat semua. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Hape kumatikan dan bersiap pulang. Pengen cepat-cepat istirahat.

Tempat kost ku hanya berjarak sekitar sekilo dari kampus. Lumayan untuk bikin ibu hamil berkeringat. Sebetulnya, ada angkutan umum berupa minibus. Tapi nunggunya lama.
Jadi aku lebih memilih berjalan kaki. Kalau kebetulan minibus itu lewat aku menyetopnya.
Bus kota juga ada. Tapi harus memutar ke dekat Sarjito, atau FKG untuk mencapainya.
Males,,, lagi pula rawan copet.

Sore itu usai asar, Marina mengantarku ke sebuah klinik bersalin. Diboncengnya aku dengan laju motor yang sangat-sangat lambat.
Ketika aku mengomentarinya, dia malah meminta maaf.
"Maaf ya Mi. Ini pertama kalinya saya boncengin ibu hamil. Jadi takut penumpangnya gak nyaman."
Aku tersenyum dan menatapnya dengan penuh rasa terima kasih.

Menjelang jam 9, kami baru keluar dari parkiran klinik tersebut.
Penat. Juga kasihan sama Marin yang terpaksa lama menemani.
"Maaf ya mbak Marin. Jadi lama nemenin saya."
"Gapapa, Mi. Kebetulan juga tak ada agenda malam ini."
Dia melajukan kembali beatnya perlahan. Menyusuri jalan raya dan gang-gang menuju asrama kami.

Usai sholat isya yang terlambat, aku menekuri sajadah di depanku.
Ucapan dokter di kali pertama pemeriksaan tadi, menciutkan nyaliku.
Antara percaya dan tidak, karena sebelumnya dokterku di Batam menyampaikan bahwa kondisi janin sehat-sehat saja.
Kenapa di sini jadi berbeda?

Aku memang tak melapor kalau kondisi tengah hamil ketika terbang dari Batam ke sini. Jilbab panjang dan gamisku juga menyamarkan kehamilan 6 bulanku.
Haruskah aku mengabarkan pada suamiku?
Aku khawatir dia akan panik.
Apa yang sebaiknya aku lakukan?

*****

Aku memainkan Nokia N70 di tanganku. Ragu, antara ingin menelpon dan menyimpan sendiri hasil diagnosis dokter.
Ku buka daftar kontak di hape ku.
Nama pertama di situ adalah namanya.

Logika dan hatiku tarik-ulur.
Ini masih jam sekolah.

Bagaimana kalau dia sedang di kelas? Kamu akan mengganggu konsentrasinya..

Ah, coba dulu saja. Mungkin dia sedang free. Dia perlu diberitahu berita ini, bantah sisi hatiku yang lain.

Apa tak sebaiknya nanti sore saja?

Sekarang saja, daripada kamu sedih menanggung beban sendiri.

Aku mengusap air mata yang menetes. Memandangi nama yang tertera di monitorku.

Rttt...rttt... Benda itu bergetar. Lalu nada panggil spesial terdengar.
Aku memang menandai nomer soulmateku itu dengan nada dering yang berbeda.
Tergesa ku tekan tombol hijau.

"Mas..." aku menahan tangisku. Berpura-pura ceria.
"Assalamu'alaikum Sayang... Gimana kabarnya?" suaranya ceria. Dia memang begitu.
"Sudah jadi ke klinik?"
"Alhamdulillah, baik."
"Jadi ditemani Marina?"
"Iyya... Alhamdulillah."
"Alhamdulillah..."
"Mas... Aku mau cerita..."
"Mas juga mau cerita. Adek mau denger kaan? Ada berita baik, ada berita buruk. Mau dengar yang mana dulu?"
Aku diam.
"Adek mau cerita apa?"
"Mas dulu saja yang cerita." Aku ragu mengabarkan pada suamiku. Suaranya ituloh... Ceria sekali. Khawatir akan merusak moodnya jika aku mengabarkan sesuatu yang buruk.

"Mas mau cerita apa?"
"Mas baru pulang dari pelatihan di Tanjung Pinang."
"Pelatihan apa?"
"Pelatihan guru..."
"Ooh... Terus?"
"Ada temanku ikhwan yang dijodoh-jodohkan sesama peserta pelatihan."
Hatiku mencelos.
"Mas juga dijodoh-jodohkan?"
"Iyya...," terdengar suara tawa kecil di seberang.
"Gak bilang kalo sudah nikah? Sudah mau punya anak dua?" suaraku terdengar galak di telingaku sendiri.
"Yaaa... Sudah," suaranya terdengar bersalah, "Tapi gak ada yang percaya."
Aku menghembus napas kuat-kuat.

Dia memang masih seperti anak kuliahan. Apalagi kalau pakai koko putih dan celana biru. Nampak seperti siswa SMP.
"Terus?"
"Lha, sebelum pulang, aku dapat titipan surat dari akhwat yang dijodohkan sama temanku itu. Dia menawarkan diri untuk dilamar."

Haaa?
Aku mendelosor duduk di lantai. Lemas.
Tak tau mesti ngomong apa.
Dari hape di genggaman, masih terdengar suaranya.
"lni sudah yang ketiga kalinya. Dua kali sebelumnya aku diundang bapak-bapak sesama jama'ah masjid. Ditawarin main ke rumahnya untuk kenalan sama anak gadisnya. Kupikir, sebaiknya aku jujur pada Cintaku."

Aku menggigil, menahan isak. Meleleh sudah air mata.
Aku percaya, dia tak mungkin berkhianat. Apalagi tepe tepe, jauuuuhh. Dia tipe lelaki yang selalu ghodul bashor.
"Mas..." aku memanggilnya lemah, "Kata dokter... janinnya ...harus...di ..buang. Ja..nin..nya.. hiks.. gak..hiks..ber...kem...bang.."
Aku tersedu. Tumpah sudah air mata.

*****

Bersambung