Jumat, 25 Oktober 2019

PhD Mom dan mental health

Pagi ini, menyimak curhatan teman-teman di grup Doktoral.
Subhanallah... titik air mata. Campur-aduk segala rasa. Dan bingung mau komentar apa.
Kilasan peristiwa seperti diputar ulang ke sepuluh tahun lalu.

Ketika dalam kodisi hamil tua dan mabok parah harus berangkat ke luar kota.
Ketika harus merelakan si Cantik dibawa pulang dan diasuh oleh Budenya.
Ketika dalam sendiri harus bolak-balik ke dokter dengan vonis bayi tak berkembang
Lanjut direkomendasinya harus dibuang.

Ketika di suatu petang suami mengabarkan bahwa dirinya dilamar buat anak gadis orang
Ketika terpaksa memelas meminta suami menemani prosesi kelahiran
Ketika si baby harus dipaksa lahir karena kondisi darurat

Ketika sepulang kuliah harus ngruwati rumah, bayi, batita dan bapaknya
Ketika semua tugas kuliah terpaksa dihandle dengan menggendong dan meng-ASI-in bayi Irsyad
Ketika menangis saat menerima diagnosis hamil anak ketiga
Ketika berbulan-bulan pembimbing thesis tak bisa dijumpa

Ketika terpaksa harus memboyong suami dan 3 bocah ke kampus Gadjah Mada
Ketika harus menembus keramaian Beringharjo demi lembar-lembar rupiah
Ketika terpaksa berjibaku dan serabutan jualan batik, handycraft, herbal, buku bahkan bebek potong
Ketika terpaksa menggadaikan ijazah untuk membeli tiket kembali ke kampung halaman

Ketika harus memulai kembali kehidupan dari nol, dengan kata terpaksa.

Bersyukur, bisa melampaui semua itu.
Namun dalam hati, kutanamkan dalam-dalam
Biarlah ia Indah dikenangan, namun tak akan kuulang.
Cita-cita dan tantangan Bapak, ku kubur dalam-dalam.

Lantas, 4 tahun setelahnya...
Tantangan itu kembali lagi
Bahkan aku sudah depresi sebelum memulainya.

Namun, sepertinya Allah bukakan banyak jalan
Dari tangan-tangan orang berhati malaikat, yang bahkan tak ku kenal
Lolos seleksi administrasi, aku sujud syukur
Suami yang tak bisa menemani, karena harus menjaga 4 bocah meminta adikku mengantar ke Jakarta untuk seleksi wawancara.
Gak tanggung-tanggung.
Aku dari Batam, dia dari Palembang. Kami janjian ketemu di Soetta.
Prosesi wawancara dan rangkaiannya lancar. Kami kembali ke kota masing-masing.

Setiap hari, dihantui perasaan ketakutan, akan seperti apa jadinya jika berpisah dengan anak-anak, yang sebagiannya masih balita itu.
Lalu menelan mentah-mentah sebuah ucapan: 'Kamu macam yang kege-eran bakal lolos seleksi saja.'
Lalu menertawakan diri sendiri...
Berulang, lagi, dan lagi.

Sepertinya hal yang mustahil bakal bisa sekolah ke Saudi.
Tapi berharap, boleh saja kan?
Berpuluh hari dalam penantian.

Lalu menangis sesenggukan ketika kabar kelulusan itu datang.
Allahu Akbar
Bukan tak bersyukur, tapi lebih kepada ketakutan menatap hari-hari selanjutnya.
Mulailah pertengkaran-pertengkaran kecil datang
Hingga suatu ketika suami sakit
Anak-anak kompak sakit
Ditutup dengan diri sendiri yang akhirnya tumbang. Laa haula wa la quwwata illa billah.

Lalu surat panggilan untuk registrasi tiba.
Apa daya, energiku sudah terkuras.
Ingin mundur, selalu dibayangi kata: Kamu tak bersyukur!

Lalu memulai hari-hari sepi di mahallah
Jauh dari gelak ceria tawa dan riuh tangis bocah
Satu semester yang mendera habis kerinduan.
Ntah seperti apa hidupku saat itu.

Seperti anak ayam kehilangan induk
Seperti itu pula aku, saat dikabari bahwa Supervisorku tak diperpanjang kontraknya.
Ntah, bahkan tak ada penjelasan darinya.
Bahkan kontaknya pun bertukar semua.

Kembali ke titik nol
Aku bisa apa?
Menggugat Allah?
Dia sudah begitu baik memilihkanku jalan terbaik.

Hanya doa-doa dan cerita pada bapak, yang senantiasa mengalir.
Mengikis beban hati yang masih belum juga bisa sepenuhnya menerima takdir.

Lalu, lelaki pertamaku itu pun dipanggil-Nya.
Dan aku jauh.
Berpacu dengan waktu.
Tertatih memaksakan diri pulang menemui jasadnya.
Ya Allah... Makin hampa rasanya.

Alhamdulillah, Allah menyadarkan kembali.
Ini dunia, Mi. Hanya dunia! Sosok di sebelahku bicara.
Tak patut menangis karena dunia.
Semua sudah tertulis jauuuhhh...sebelumnya.

Ah, bicara memang mudah.
Syukur alhamdulillah, akhirnya dia berubah
Menjadi sosok yang lebih arif dan supportif
Menguatkan di kala lemah.
Siap menjadi tempat curhatan semua rasa
Melangitkan doa-doa

Di satu sisi aku merasa beruntung
Sebagian teman, diuji pada suami yang acuh
Sebagian teman diuji pada keluarga yang tak mendukung
Sebagian teman diuji dengan finansial
Semua... Sesuai porsinya, kan?

Aku bersyukur...
Tidak seperti teman yang sering berbicara sendiri pada dinding-dinding kamar
Tidak seperti teman yang harus menanggung hutang berpuluh juta
Tidak seperti teman yang terpaksa harus berpisah dengan suaminya.
Walau di awal, status 'under depression' itu menyakitkan
Bahkan memalukan.

Allahu...
Karena-Mu saja, akhirnya kami bisa melalui semua takdir ini
Perjuangan ini
Perjalanan ini
Sarat beban, namun juga sarat hikmah
'Ala kullihaal, Alhamdulillah.

Tambahkan selalu kekuatan, kesabaran dan petunjuk
Mudahkan kami semua dalam menempuh satu sesi dari perjalanan panjang hidup kami
Hanya kepada-Mu kami berharap.
Rabbana adkhilna mudkhola sidqiw wa'akhrijna mukhroja sidqiw waj'alna minladunka shulthonan nashiiro.. Aamiin


Untuk cintaku,
Terima kasih sudah menemani semua langkah-langkah ini
Terima kasih, untuk semua lelah, cinta dan doa.
Masih panjang perjalanan kita
Berharap tetap bersamamu sampai ke surga-Nya. Aamiin.

"Mereka yang berdiri setelah dihantam badai tidak akan terusik oleh gerimis"
Insya Allah, kita bisa melalui semua ini.



Pojok kamar, 25102019