Selasa, 17 Juli 2018

8 Point Penting dalam Mendidik Anak

Setiap orang tua, pasti punya target terhadap anak-anaknya. Baik anak sendiri, maupun anak titipan yang harus berada dalam pengawasan atau pendampingannya. Misalnya, anak murid, anak asuh, keponakan, anak tetangga, dan sejenisnya.

Mendidik anak, bukan perkara sepele. Tentu saja, karena proses pendidikan anak-anak dalam Islam adalah merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya menyelamatkan keluarga dari api neraka. Masih ingat kan surat dan ayat berapa?
Tul, At-Tahrim ayat 6.

Jika kita mengilas balik perjalanan kehidupan manusia, kita akan paham bahwa keimanan dan ketaqwaan itu tidak diwariskan. Lihatlah pada kisah beberapa manusia pilihan. Sebagian dari mereka, ada yang anaknya tidak termasuk golongan yang beruntung, padahal ayahnya adalah orang yang menjadi penyampai risalah.

Bertahun lalu, dalam sebuah kunjungan ke sebuah institusi pendidikan di Batam, saya menemukan tulisan bagus ini. Saya lupa dalam kunjungan apa (entah supervisi, tutorial, promosi atau mengajar) dan di unit mana. Tulisan ini dicetakkan di tembok dekat tangga kantor ruang guru. Jadi sekalian reminder kali yah buat para pendidik di sana, biar tetap bisa mengontrol diri dalam perjuangan mendidik anak.

Isi tulisan itu adalah 8 point yang harus diingat oleh pendidik dalam menjalan tugasnya. Apa saja?

Yang pertama adalah IKHLAS
Mendidik anak (siapapun) haruslah ikhlas. Jangan menganggap tugas mendidik ini sebagai beban. Walaupun aslinya tugas mendidik itu dibebankan pada ayah, namun di rumah pelaksananya umumnya adalah ibu. Jika ada sesuatu yang buruk "nempel" pada anak, orang-orang juga akan menuding ibunya.

'Ih... anak ini kok.... banget, Emaknya nggak ngajarin apa ya?'

'Ini anak kok kurang .... ya? Gak diajarin apa sama ibunya?"

Tuuh kan, ibu lagi... ibu lagi...
Padahal si anak juga milik Bapaknya. Heuheu...

Kalau menurut aku, ikhlas ini penting banget loh. Karena keikhlasan akan meringankan langkah-langkah kita dalam setiap kerja yang dilakukan. Juga menurunkan potensi stress dan konflik.

Yang kedua DOA
Doa itu permohonan, dan bagian dari ibadah. Doa ibu untuk anaknya adalah doa yang mustajab. Maka, setiap ibu hendaklah berhati-hati dengan ucapannya. Karena, mungkin tanpa disadari, ucapan itu menjadi doa yang menembus langit, disimpan oleh Yang Di Atas dan akan di"hadiah"kan kembali kepada si pendoa, khususnya ibu.
Ingat kisah Malin Kundang, kaan?
Ingat juga kisah Syaikh Suddais?
Sangat mungkin, itu semua adalah buah doa dari lisan seorang ibu.

Doa juga mempunyai kekuatan untuk menolak takdir.
Saya selalu mengingat petuah dari Kepsek saya saat mengajar di sebuah sekolah Islam bertahun lalu. Ketika kami, para guru sering mengeluh dan kewalahan dengan tingkah polah anak-anak yang naudzubillah...
Beliau menjawab, "Doakan, doakan dengan sepenuh hati. Sebut namanya dalam lantunan doa-doa ibu-bapak. Sesungguhnya Allah-lah yang menggenggam hati-hati mereka."

Pikir-pikir, yaa.. begitulah.
Manusia hanya berusaha, Allah-lah yang membolak-balik hati.
Bukan hanya hati anak-anak/anak didik kita, bahkan hati kita sendiri.
Selalu fluktuatif, naik dan turun, yazid wa yankus.
Makanya, suami juga selalu mengingatkan, agar istiqomah dengan doa "Yaa Muqallibal quluub, tsabbit quluubana 'alaa diinik."

Yang ketiga SABAR
Sabar ini, ringan di lisan namun berat dijalankan. Huhu...
Apalagi, katanya, sabar itu tiada batasnya... Hiks
Padahal, sabar jugaaa... yang selalu digandengkan dengan syukur, digandengkan dengan sholat.
Jadikan sabar dan sholat sebagai penolongmu. Ketika dapat ujian, banyaklah bersabar, sambil tetap bersyukur.

Ngomong memang enak, prakteknya... tak se-enak ngomongnya.
Nah, dalam mendidik anak pun demikian. Perlu mengedepankan kesabaran.
Pendidikan adalah kerja sepanjang hayat, bukan sekedar usia sekolah.
Pendidikan, hasilnya tidak bisa dilihat sekejap mata, sebulan, enam bulan, tiga tahun..
Bukaann...Bukan proses instant.
Ngajarin bayi bisa nyusu dengan benar saja, butuh waktu. Apalagi mendidik anak supaya jadi baik dan aqidahnya lurus. Iya apa iya?

Saya teringat dengan ucapan suami, ketika suatu hari kami menjemput anak-anak dari sekolahnya. Si Bapak ini yang sekarang menghandle semua urusan anak-anak, bilang ke saya.
"Tadi, sempat dengar kajian dari ustadz-entah tentang sabar dalam mendidik anak. Yang harus dilakukan orang tua adalah bersabar, dan jangan menyerah. Karena kita tidak tahu melalui usaha kita yang mana, kelak anak itu akan berubah. Kapan dia akan berubah. Tetap optimis, sabar dan kencengin doa."
Saya manggut-manut.
Padahal, waktu itu, di perjalanan dari bandara ke rumah, dia baru saja curhat tentang turunnya kedisiplinan anak-anak dalam sholat dan muroja'ah. 
Yaa.. gitu deh. Alhamdulillah diingatkan. Selanjutnya, beliau mengingatkan saya untuk berhati-hati kalau berbicara, seperti point yang selanjutnya ini.

Yang keempat JAGA LISAN
Menjaga lisan, pentiiingg... banget. 
Selain terkait dengan point nomer 2, yaitu DOA, hal ini juga berkaitan dengan komponen penyusun tubuh. Kalau menurut pelajaran biologi, 80% dari tubuh manusia, itu adalah air. Nah, air ini, menurut penelitiannya Masaru Emoto (Kalau gak salah namanya itu), bisa membentuk kristal yang cantik, kalo diafirmasi positif. Maksudnya, kalo kita ngomongnya baik, sopan, bagus, kristal airnya cantik. Berlaku juga sebaliknya.

Ucapan yang baik, akan direspon oleh tubuh dengan baik. Sebaliknya ucapan yang kurang baik, akan masuk ke memori bawah sadar dan suatu ketika akan dikeluarkan melalui koordinasi otot tubuh menjadi perilaku. Begitu riset Dr. Asiah Dahlan.

Jadi, ngomong yang baik, dengan intonasi yang baik, dan cara yang baik. Hehe...
Mau contoh?

Misal nih yaa... Kejadian umum nih kalo di rumahku.
Si Emak lagi ngepel. Hehe... Masih belum kelar, lantai masih basah. 
Tiba-tiba, anak bujang dari luar nyelonong masuk sambil ngucap salam dengan kenceng. Padahal dia tadi habis main tanah dan siram-siram di depan rumah. Mana belum nyuci kaki dan tangan pula...hiks

Reaksi Emak apa? 
Ngomel? 
Ahahaha...
Biasanya sih kita, "Astahgfirulloooohhh... Masuk rumah gak cuci kaki? Gak tengok ini emaknya lagi apa? Tengok tuh lantainya jadi kotor lagi. Kamu apa gak punya....bla..bla..(lanjutin sendiri)"

Coba deh kita perhatikan.
Astaghfirulloh itu ucapan apa? Istighfar kan? Artinya kita minta ampun sama Allah.
Tapi coba bayangkan, nadanya bagaimana? Yang seharusnya bagaimana?
Masa kita minta ampun nadanya marah-marah, hehe..
Kira-kira nyaman gak ya? 
Yuuk evaluasi bersama.
Bagaimana kalo diubah?
Emang bisa? 
Bisa!

Yang kelima JAGA PERILAKU
Pasti semua tahu kan, kalau anak adalah peniru ulung dari model di sekitarnya. Nah model yang paling dekat dan sering dilihat anak adalah kedua orang tuanya.
Disadari atau tidak, mereka melihat, mendengar, merekam dan meniru apa yang dilakukan orang tuanya.
Jujur, saya dulu sering nyengir sendiri kalo dengar dan lihat gaya si Kakak ngomelin adik-adiknya. Persis gaya saya, hiks

Habis itu saya ngaca, istighfar dan mulai mengubah diri.
Asli, saya takut. Bahkan, kecemasan saya pun kadang diadaptasi oleh salah satu anak.

Jadi, saya sering sekali menekankan ke anak-anak untuk berperilaku baik, menjaga adab.
Detilnya gimana? Silakan cari bagaimana adab-adab dalam Islam.

Yang keenam sampai delapan adalah JANGAN MARAH, JANGAN MARAH dan JANGAN MARAH
Kenapa tiga kali?
Yaa... memang tiga kali kan?
Tidak marah-marah dalam mendidik anak, ngomel dikit boleh. Upss, ya enggaklah.
Susah? Iyya susah karena hadiahnya surga.

'Laa taghdhob walakal jannah', Janganlah (engkau) marah, maka bagimu surga.

Saya, pernah dikomplain si Solih. "Ummi kalo pulang marah-marah saja kerjanya."
Mungkin dia shock. Biasanya, kalau sama Abi, ngobrol seperlunya, canda-canda, muroja'ah, dst. Paling-paling kalo negur, abinya langsung instruksi.
Kalo Emaknya, karena butuh menyalurkan 20 ribunya, kalimatnya jadi panjang berliku-liku. 

Nah, emak lupa kalo di rumahnya anaknya dominan jagoan, yang gak bisa ngimbangin semua obrolannya dan instruksinya si Emak. Jadi, kalo ngomong panjang-panjang dengannya, anaknya pusing, wkwkwk.

Tapi, karena dikomplain, emak ini juga akhirnya introspeksi.
Apakah memang kalo anak salah harus dimarahi?
Apakah anaknya paham kalo dia salah? Jangan-jangan karena dia belum tahu.
Apakah kalau anaknya sudah tahu, apa masalahnya bisa selesai dengan marah-marah?
Yang pasti, kita merasa tidak nyaman ketika dimarahi. Iya apa iya?

Maka, kadaang emak mencoba menempatkan diri di posisi anak, melihat dari sudut yang berbeda, sehingga bisa lebih legowo dengan kesalahan anak. Sepanjang itu bukan kesalahan yang fatal tentunya.

Begitu ya. Semoga bermanfaat.


Gombak, 17Juli2018

Tidak ada komentar: