Selasa, 17 Juli 2018

Ceritaku: PP (End)




25 Desember itu hari Jumat.
Makin resah sejak menginap gratis di klinik.
Keluarga juga sudah bolak-balik bertanya kapan si dedek akan launching.
Yaa... Kalau aku tahu, gak begini jalan ceritanya.

"Mas, cari dokter lain yuk."
"Kenapa?"
"Yaa, kali saja ada solusi lain.."
"Dimana?"
"Kita tanya-tanya dulu. E tapi, dekat perempatan Kentungan sebelah utara itu juga ada klinik. Besok pagi ke sana, ya?"
"Besok itu Sabtu."
"Terus..?"
"Kalau Sabtu mungkin tutup."
"Yaa, kali saja buka sampai Sabtu. Coba dulu lah... Ya?"

Sabtu pagi, kami jalan kaki ke klinik dimaksud. Dekat saja.
Jalanan sepi.
Daann... Tak ada dokter.
Mantab.
Akhir tahun mungkin memang jatah libur para dokter.

"Kaan?"
"Namanya juga usaha.." aku cemberut dengan komplainannya yang seolah menyalahkan.
Kami diam-diaman sepanjang jalan pulang.
Cuek-cuekan.
Dia singgah di Masjid.
"Aku ke Annida." Balik ke kamarku dan tergugu di sana. Annida itu nama asrama.

Terus terang aku khawatir dengan kondisi ini. Sudah lebih 43 minggu.
"Kamu lagi ngapain di sana, Dek? Kapan mau ketemu Ummi-Abi?" Aku mengajaknya bicara.
Lamaaa...

"Mbak-mbak... Permisi, pak Axxx mau masuk!" teriakan keras Mbak Eni, pengurus asrama membahana ke seantero pelosok kamar.

Terdengar suara sendal diseret, kaki yang melangkah cepat, pintu yang terburu ditutup dan teriakan 'bentaarrr...' lalu sepi. Para akhwat mencari perlindungan ternyaman di kamar masing-masing.


Aku menghapus sisa air mata. Terdengar ketukan dan salam di pintu, dan muncullah sosoknya.
Lelaki itu tetap dengan senyumnya.
"Nanti siang ikut jemput ibu, yuk?"
"Enggak ah, Mas saja yang pergi."
"Benar gak mau ikut?"
"Tunggu di sini saja."
Dia mengalah.


Saat dia pergi menjemput ibu, aku resah. Perasaanku bercampur aduk. Seperti apa rasanya melahirkan ditunggui mertua?
Sisi hatiku yang lain bersyukur. Ibu berkenan jauh-jauh datang menemani. Menempuh 8 jam lebih perjalanan antar provinsi, sendiri, demi menantunya. Ah, setidaknya, aku tak merasa sendiri.

26 berlalu...
27...
28...
Pagi.

Hari ini kami pergi ke klinik lain. Kemarin dapat saran dari bincang-bincang dengan ibu pemilik kost untuk menjumpai dokter ini di apotiknya.

Di apotik yang merangkap tempat praktek dokter, kami sabar mengantri. Dokter ini juga banyak pasiennya.
Namaku dipanggil ke ruang periksa. Kami menjumpai dokter yang sempurna menutup auratnya, jilbabnya panjang, namun tetap energik. Ramah.

Suami menceritakan riwayat kehamilanku. Sesekali aku menambahi penjelasannya.
Dokter mengangguk-angguk dan mengonfirmasi beberapa hal. Lalu bersiap memulai pemeriksaan.
Dengan cekatan dokter menghandle semuanya, sambil memberikan penjelasan.
"Ini bayinya kondisinya baik. Detak jantungnya bagus. Tapi di sini, ini plasentanya sudah putih-putih. Air ketuban juga sudah bercampur putih-putih ini. Harus segera dikeluarkan bayinya. Khawatir kalau nanti plasentanya sudah gak kuat, bisa beresiko. Insya Allah masih bisa normal. Kita usahakan, ya. Semoga Allah mudahkan."

"Ibu langsung di drop ke klinik ya, Pak... Barang-barangnya dibawa sekalian. Nanti sampai sana langsung masuk..Kita akan tangani segera." Dokter sigap memberi instruksi.

"Tasnya ditaruh dimana, Pak?" tanya asisten dokter.

Aku dan suami berpandangan.
Jreng...jreng...
Lupa bawa tas. Hahaha...

"O ya sudah, ibu diantar dulu ke klinik, nanti bapak bisa pulang ambil tasnya."

Membonceng sepeda motor ke klinik di Pakualaman.
Akhirnya terdampar di klinik yang berbeda. Manusia berencana, Allah juga yang menentukan.

Suntikan pertama sudah masuk. Sakit euy. Tak ada reaksi kontraksi. Cuma pegal-pegal saja di pinggang.
Apa aku terlalu rileks? Gara-gara baca buku hypnobirthing kali... Ahaha...

Tambah suntikan kedua setelah dhuhur. Tetap belum mulas..
Ya Allah, tolong mudahkan urusan ini.

Sore berganti malam. Baru pembukaan empat.
Kenapa mulesnya malah hilang?

Lagi aku mengajak yang di dalam bicara. Sambil merapal doa-doa.
Mau nangis, malu. Ada ibu mertua di situ.

*****

Aku terbangun dari tidur singkatku. Terdengar sedikit gaduh di luar kamar.
"Ada apa?"
"Kunjungan dokter," jawabnya singkat.
"Ooh.."

Dokter dan seorang asistennya masuk ke kamarku. Bertanya, mengecek dan berbicara sesuatu pada asistennnya. Aku menjalani saja semua perlakuannya. Pasrah.

Dokter menjelaskan pada suami yang rautnya mulai khawatir. Menenangkan dan menginstruksikan beberapa hal.
Aku mulai penat. Suami mengulurkan kurma yang dibawanya ketika kembali dari menjemput perlengkapan. Sekalian juga menjemput ibu yang memutuskan ikut berjaga di rumah sakit.
Satu suntikan telah ditambahkan tadi.

Kontraksi mulai terasa kembali. Sedikit lebih kuat.
"Ayo Nak, berjuanglah untuk pertemuan kita!" aku berteriak dalam hati.
Ibu masih berjaga dan memijiti kakiku. Tak banyak komentar atau nasihat melihat kondisiku. Dia, ibuku itu memang tak banyak bicara, berkebalikan dengan anaknya, suamiku.

Aku juga berusaha. Berusaha tak terlihat lemah. Hanya tarikan napas dan desahan lirih berbalut dzikir yang keluar dari lisanku.
Jaim. Ahaha..

Sepuluh... Sebelas... Dua belas...
Lelah...
Kuputuskan tidur saja. Sesekali terbangun ketika mulas datang menyapa.
Si Adek sedang berjuang.
Baiklah, kita berjuang bersama, bisikku.

Subuh tiba.
Aku memaksakan naik ke mushola di lantai tiga. Merangkai doa panjang untuk prosesi menegangkan ini. Melarutkan diri dalam dzikir supaya lebih rileks.

Bapak-ibu di kampung sudah dikabari, diminta maaf dan ridho serta doanya sejak kemarin.
Aku juga berwasiat pada suami beberapa hal yang menurutku penting.
Serasa menuju prosesi kematian, walaupun aku tak berharap itu terjadi.

Aku kembali ke bawah menuju kamarku. Menempuh jalan memutar biar sekalian jalan-jalan menikmati taman dan kolam air mancur di depan ruang rawat inap.
Lumayan menyejukkan.

Di kamar, kujumpai ibu, suami dan seorang asisten dokter yang sudah bersiap.
Cek lagi.
Aku menahan napas. Tegang.
"Delapan. Insya Allah sebentar lagi"
Aku memandangi wajah di depanku. Dia tersenyum menguatkan.
Aku meneguh-neguhkan hati. Insya Allah bisa.

Aku menunggu dalam dzikir, berusaha menikmati kontraksi demi kontraksi yang datang dan pergi. Menahan mulas. Menenangkan diri, sambil mengingat-ingat teori teknik mengedan yang benar seperti yang beberapa kali kubaca.
Kontraksi semakin intens frekuensinya. Aku menyesuaikan saja.

Perawat membawakan sebuah kursi roda. Aku diminta pindah ke ruang bersalin.
Aku memandangi saja. Ah, aku masih kuat jalan.
Kucium tangan ibu mertua, mohon doanya. Lalu tangan suamiku.
Seperti mau berangkat perang rasanya. Dan tak tahu, apakah bisa kembali pulang.

Direngkuhnya tubuhku dengan kedua tangannya. Ya Allah... Mau menitik rasanya air mata.
Gak boleh nangis, bentakku dalam hati. Cepat-cepat kudongakkan wajah. Melangkah menuju ruang tindakan dengan langkah ditegar-tegarkan. Hiks.

Sendirian aku ditinggalkan, menunggu dokter. Sepi.
Pintu terbuka. Dokter dan seorang asistennya masuk.
Menyusul suamiku dan...ibu.
Mereka diijinkan berada di ruang persalinan, menemani.
Alhamdulillah...

*****

Aku masih duduk menjuntai di tepi bed. Mengawasi suasana di ruang bersalin yang cukup luas.
Sedikit termotivasi. Waktunya sebentar lagi.
Tiba-tiba pengen ke kamar mandi. Mungkin karena nervous.
Perawat mengarahkanku ke ruang yang dimaksud.
Berjalan sendiri.
Melayani diri sendiri.

Kembali ke ruang bersalin, dokter menginstruksikan untuk bersiap. Kontraksi makin terasa kuat.
Kugigit saja bibir bawahku sambil melantunkan asma-Nya dalam hati.
"Di sini saja," Aku menggenggam tangan suami dan memaksanya tetap di sampingku.
Dia menuruti pintaku.

Dokter memberikan instruksi yang hanya kubalas dengan anggukan.
Terasa mulas yang sangat sangat. Belum boleh ngedan.
Ya Allah...
Kontraksi lagi, lagi dan lagi...
"Allahu akbar!", aku bertakbir.

Bisakah kau bayangkan sensasinya?
Saat kita ingin segera menuntaskan hajat, namun harus bersabar untuk tidak memuntahkannya. Tidak bisa bergerak, di tengah mulas yang mendera.
Bahkan untuk sekedar menggeliat sedikit mencari posisi nyaman.
Ya, teknik melahirkannya jaman itu memang masih dengan posisi dimana si ibu berbaring telentang. Padahal, menurut buku yang kubaca, ada banyak posisi lain yang lebih memudahkan.

Pembukaan sudah lengkap. Dokter menginstruksikan untuk mengedan.
Namun, karena nervous, aku lupa caranya. Haddeh...
Asistennya mengoreksi dan mengarahkan teknik yang benar. Aku mencobanya.
Kontraksi datang sekali lagi, dan aku mencoba lagi sambil meneriakkan takbir.

Berhasil.
Alhamdulilah.
Aku merasakan dia meluncur keluar.
Sesuatu yang terasa licin daaann... paanjang....?
Lega.
Namun, tak terdengar suara bayi menangis.
Ada yang tidak seperti seharusnya.

Aku menangkap kesan terkejut pada semua wajah di ruang itu.
Si Ular Putih?
Ahaha.. Bukan!

Lagi, dokter menginstruksikan sesuatu yang tak kupahami. Asistennya sigap mengambil sesuatu entah apa dan mereka berdua, bertiga dengan ibu mertuaku kembali berjuang membantuku.
Terasa cairan hangat membanjiri.
Aku tak sepenuhnya paham apa yang terjadi.

Dokter mencek kondisiku, dan ketika kontraksi datang sekali lagi, mengomando untuk mengedan lagi.
Allah... Aku mulai lemah.
"Sekali lagi Bu, sedikit lagi." Suara asisten dokter menyemangati.
Aku mengerahkan sisa-sisa tenaga dan akhirnya merasa lega.
Bayi yang ditunggu-tunggu sekian lama sudah tiba.
Semua wajah tegang kembali cerah.

Dokter mengucapkan selamat, sementara asistennya masih sibuk membersihkanku.
"Bokongnya diangkat, Bu." perintahnya.
"Gak bisa, Mbak." Aku menggeleng lemah, bahkan menggerakkan jempol kakipun tak mampu.
Aku lemas...
Sejak semalam belum makan.
Plus ngantuk.
"Jangan tidur dulu bu." Disodorkannya segelas teh hangat.
Suamiku membantuku minum dengan sedotan.
Alhamdulillah, segar.

"Sudah selesai?" aku bertanya.
Asisten dokter tersenyum mengangguk.
"Tadi itu...apa?"
"Tunggu dokter saja ya Bu."

Beberapa waktu kemudian dokter kembali ke ruangan. Aku mengulangi pertanyaan yang sama.
Pertama- tama dokter mengajakku bersyukur bahwa si bayi akhirnya terlahir dengan selamat dan normal. Dokter menjelaskan bahwa yang pertama keluar tadi adalah plasenta. Mungkin karena sudah pengapuran itu. Sementara, bayi masih tertinggal di dalam. Oleh sebab itulah terpaksa dilakukan tindakan vacuum untuk membantu menarik bayi keluar. Alhamdulillah, nyawa bayinya tertolong, namun masih perlu pemantauan.

"Aku kepingin lihat," aku meminta pada dokter.
"Nanti kalau kondisinya lebih baik, kami antar ke ibu. Ibu istirahat dulu. Kalau dirasa terlalu banyak darah yang keluar, nanti lapor ya Bu."

Saat pertama memandangi wajah bayi lelaki itu, rasa haru membuncah di dada. Aku menciumi pipinya yang tembem sambil mengusap rambut ikalnya. Wajahnya sedikit aneh karena kepalanya yang terlalu panjang. Akibat divacuum itu kurasa.
Ah...Nak, akhirnya bisa juga menatap wajahmu. Semoga sehat-sehat dan kita cepat pulang.


Empat hari kami memulihkan kondisiku dan juga bayiku di sana. Tanggal 31 kami pulang ke asrama.

Usai berkemas, kami melangkah ke depan. Berpamitan pada dokter dan para asistennya yang sudah begitu baik melayani kami.
"Maaf ibu, mobil klinik masih di perjalanan menuju kemari. Tadi baru ngantar pasien juga. Mohon menunggu sebentar yaa," ucap seorang petugas.

Aku yang menggendong bayi Irsyad melangkah menuju kursi di dekat bagian administrasi dan kasir. Suamiku ada di sana untuk urusan pembuatan Akte Lahir.
"Eh, Mi.." Dia tergopoh membantuku duduk.

"Oh ini istrinya..." kudengar suara kecil seorang perempuan dari belakang loket.
"Ssst..."
Lalu terdengar mereka cekikian.
Ada apa? tanya hatiku.
Dikira bujangan lagikah?

Mobil klinik datang. Aku berdiri di samping suamiku. Menunggu hingga pak supir selesai memuat barang-barang kami dan menyilakan naik.

Aku menoleh ke loket. Mbak-mbak yang tadi di situ membuang muka ketika kami bertatapan.
Mungkin, buatnya aku tak ideal berdiri di samping lelaki yang wajahnya tengah berseri itu. Walaupun lelaki itu bilang wajahku lebih cerah, mestilah ada gurat lecek dan lelah.

Yaelah Mbak... Gak usah juga dibandingin sama Mbak Kate ngkali. Namanya juga emak baru lahiran.

Dokter melintas dan menyapa kami. Sekali lagi kami berpamitan dan mengucap terima kasih.
Tanpa kusadari, aku mengucapkan,"Sampai ketemu lagi..."
Ternyata Allah menyimpan ucapanku itu dan berbulan kelak aku kembali.
Ahaha.
Makanya ibu harus berucap yang baik-baik.

***
Epilog

Aku mengulangi kembali panggilan via whatsapp ke nomer tadi.
Tak diangkat.
Sekali lagi. Tetap tidak tersambung.
Ah sudahlah. Paling-paling habis batre itu hapenya.

Aku mengetikkan pesan.
[Habis batre ya?]
Lalu menskrinsyut foto PP-nya dan mengirimnya.
[Mas, foto wa mu ini apa nggak sebaiknya diganti?
Kayak gitu saja nampak kalo ganteng... Nanti org pada kesengsem 😀😀]

Centang satu.
Biarlah kutunggu sampai dia membacanya.
Sebagai istrinya, aku berhak cemburu.

Eaaaa.. Ahaha.

*T.A.M.A.T*

Tidak ada komentar: