Selasa, 17 Juli 2018

Ceritaku: PP (lanjutan)







Tak terdengar suara apapun di seberang. Hanya isakku yang makin tersedu.
Pikiran kalut, jauh dari keluarga dan orang-orang yang dicinta.
Ya, kami memang berpisah sejak sebulan lalu.

Setelah menitipkanku di sebuah asrama putri di Jakal km 4.5, dia pulang kembali ke Batam bersama permata hati kami.
Dan aku di sini sendiri, meniti hari-hari sepi dengan kesibukan entah.
Status sebagai mahasiswi dan berbagai aktivitasnya tak benar-benar kunikmati. Kondisi sebagai ibu hamil yg memasuki trimester ketiga lebih menyita energi.

"Adek... Ssstt... Adeeek," suaranya memanggil.
Aku mengacuhkannya. Masih tersedu.
"Adek.... Ummi... Sayang... Coba cerita yang benar, dokter bilang apa?" Dia membujuk menenangkan.
"Dokter...bilang... bayinya tak berkembang. Hasil USG nya...menunjukkan kondisi bayinya... jauh dari normal. Katanya... kalau tak berkembang... hiks...harus dibuang." Masih dengan terputus aku bertutur.
"Adek... Sayang, sabar ya. Allah lebih tahu yang terbaik. Serahkan pada Allah semuanya."
"Terus, aku harus bagaimana? Aku takut..."
"Mas gak paham kalau soal ini. Coba adek cerita sama Mbak. Mungkin dia bisa ngasih pencerahan."
"Mas nyusul aku ke sini yaa?"
Diam.
"Mas...?"
"Eh... Iyya, gimana?"
"Mas nyusul aku ke sini. Ya?"
"Adek... Mas baru memulai lagi karir sebagai guru dalam 3 bulan ini. Masa mau mengundurkan diri? Kasihan nanti murid-muridku keteteran. Lagi pula, gak enaklah sama kepala sekolah dan guru-guru di sini."
"Mas itu gitu. Lebih sayang murid dari pada istrinya." Aku merajuk.
"Yaa, bukan begitu. Mana ada suami yang gak sayang istri."
"Lha, itu buktinya?"
Terdengar helaan napas.
Dalam kondisi biasa mungkin kami sudah berdebat panjang lebar.
"Sekarang, dibereskan dulu masalahmu. Nanti kita pikirkan langkah selanjutnya. Kapan jadwal kontrol lagi?"
"Dua minggu ke depan."
"Kok cepat? Biasanya kan sebulan sekali?"
"Ini sudah mau bulan ketujuh, Maaasss."
"O... Ya sudah. Nanti jangan lupa telpon Mbak. Segera telpon kalau ada apa-apa."
Aku menangguk. "Titip cium buat Aya."
"Assalamu'alaikum."
Aku menjawab dalam hati saja.
Lalu mencari-cari nomer yang direkomendasikannya.

Tersambung.
Sesegera telpon diangkat, aku menumpahkan tangis dan resahku.
Di seberang, kakakku menyimak keluh kesahku. Tentang diagnosis dokter, tentang suamiku, tentang kesedihan dan ketakutanku.
Sesekali ia menenangkan dan membesarkan hatiku. Ah, ingin rasanya menangis di bahunya.

Di akhir emosi yang kian menyurut, aku mengingati pesannya. "Tak apa, serahkan saja pada Allah. Makan yang banyak, beli suplemen madu, susu, buah, es krim biar janinnya cepat besar. Nanti, dilihat perkembangannya pas kontrol berikutnya. Baik-baik di sana, jangan mikir yang bukan-bukan. Anakmu disini sehat-sehat kok."

"Iyya, terima kasih." Aku menjawab lemah.
Bersyukur punya saudara yang care seperti dia.

Jadwal kunjungan berikutnya. Masih ditemani Marina, namun kali ini pakai taksi.
"Nomer 18..." Nomerku dipanggil.
Aku beranjak menuju ruang dokter.
Di depan pintu, perawat berseru, "Pasien nomer sembilan belas siap-siap yaa!"
Lhaa...

Dokter menyambutku dengan senyum. Bertanya kabar dan kondisiku.
Dia menengok catatan kontrolku.
"Nanti kita lihat kondisi janinnya. Kalau memang kondisinya masih seperti kemarin nanti kita atur jadwal tindakan."
Aku menyumpah dalam hati. Dokter ini kok gak punya empati.
"Jadi masuk bulan delapan ya Bu?"
"Tujuh dokter..."
"Tujuh? Tapi disini HPHTnya bulan 2, Februari?"
" Bulan Maret dokter..."

Dokter dan asistennya berpandangan dengan tatapan yang tak bisa kutafsirkan. Agak lama, lalu menghela napas panjang.
Ada sesuatu yang salah dengan catatan itu. Otakku menyimpulkan demikian.

"Baik ibu," dokter cepat memutus kesunyian dalam ruangan itu. "Kita USG dulu ya. Silakan."
Sesi kontrol itu berlangsung kilat. Dokter tak memberikan kesempatan padaku untuk berkonsultasi. Setelah mengomentari kondisiku berdasarkan USG dan meresepkan vitamin, dokter berdiri dan membukakan pintu untukku sambil tersenyum.
"Silakan Ibu, masih banyak yang antri."

Aku mendengus. Kesal.

*****
Drama tentang janin tak berkembang berakhir sudah. Alhamdulillah. Namun, masih menyisakan kecemasan di lubuk hati terdalam.
Kondisi kehamilan kedua ini berbeda sangat signifikan dengan sebelumnya.
Mual muntah sepanjang hari hingga memasuki bulan ke enam, akhirnya reda ketika aku ditinggal sendiri di Kota Pelajar ini.

Sebulan pertama di sini, aku mangkir dari pemeriksaan hingga bertemu dengan dokter tadi itu. Dokter yang digadang-gadang sangat terkenal dan banyak peminatnya.

Akhirnya aku mencoba menikmati saja hari-hari di sini. Berdamai dengan takdir, haha...
Hingga suatu siang sepulang sekolah, eh kuliah, kudapati bercak coklat.
Hmm... Mungkin kelelahan. Semalam memang habis ngelembur tugas kuliah.

Aku merebahkan diri di atas bed di kamar kostku. Di luar, terdengar celoteh anak-anak gadis yang tengah bereksperimen dengan masakan di dapur.
Kamarku memang bersebelahan dengan dapur. Sengaja kupilih untuk memudahkan melayani diri.

Hari-hari dengan kesibukan kuliah, kontraksi palsu dan flek yang datang silih berganti sudah tak ku ambil berat. Mencoba tegar, supaya tak menyusahkan banyak orang.

Desember tiba, dan aku bersiap menyambut perjumpaan dengan belahan hati.
Sejak awal, aku sudah merengek minta suamiku datang di awal bulan. Biar bisa melalui hari-hari menegangkan itu dengan lebih rileks.
Menegangkan?
Ya tentu saja. Menunggu HPL itu menegangkan tau.
Bukan hanya perut yang tegang, tapi juga pikiran karena kita tak pernah benar-benar tau kapan kontraksi yang asli itu akan datang dan menguras semua energi dan fokusmu.

"Tanggal segitu Mas sedang sibuk, Sayang," begitu jawabnya ketika aku memintanya datang.
"Sekolah sedang ujian, dan aku masuk di tim inti pelaksanaan UAS."
Dia memang loyal pada pekerjaannya. Supaya berkah gajinya, katanya.
"Bilanglah sama Pak Mul, istrimu mau melahirkan. Katamu kalian teman baik." Aku mencoba merayu.
Terdengar tawa kecil di sana.
"Yaa... memang teman baik. Tapi tidak harus memanfaatkan teman juga kali," suaranya mengandung tawa.
Aku diam... Membiarkan saja pulsa terbang ditelan kebisuan antara kami.
"Jadi Mas kesininya kapan?"
"Setelah tugas-tugas sekolah selesai." jawabnya pasti.
"Kalau nanti lahirnya maju kayak dulu, bagaimana?" masih mencoba menggoyahkan pendiriannya.
"Mas percaya, Allah akan mengirimkan orang baik yang akan membantumu. Yakin! Biidznillah."
Wheww... Manyun aku dengan jawabannya.

Minggu pertama Desember berlalu.
Minggu kedua juga terlewati.
Minggu ketiga tiba di pertengahannya.
Yang di dalam masih asyik menikmati dunianya.

Akhirnya, suamiku mengabarkan bahwa dia sudah mengantongi tiket Batam-Jogja.
Yeeaayy... Alhamdulillah.

Aku menyewa sebuah kamar lagi di kost-kostan yang dikhususkan buat suami-istri. Walaupun tak sebagus dan seluas kamar kostku ini, tapi lumayanlah.
Dia datang sendiri, tanpa membawa si Cantikku yang baru genap 1 tahun. Sedih. Tapi alasannya membuatku memaklumi keputusannya.

"Mas, ini sudah lewat dari perkiraan lahir. Kok belum lahir juga ya?"
"Sabarlah Dek. Mungkin beberapa saat atau hari ke depan, insya Allah."
"Mas, bajuku ini sudah sesak tau."
"Emang naik berapa kilo?"
"Banyak. Mas pasti suka kan lihat aku endut begini?"
Dia tertawa.
"Baju-bajuku sempit semua lho Mas. Padahal semua gamisku kan ukuran XL.."
Hahaha... Modus.
"Terus gimana? Mau beli gamis baru?"
Aku terkekeh. Tumben nyambung, wkwkwk...
"Duitnya masih ada kaaan?" pura-pura tanya.
"Ayuklah.."
"Kemana?"
"Katanya mau gamis baru?"
Whaaa.... Senangnya punya suami baik dan sayang istri.
"Bener nih?" Masih tak percaya.
Biasanya dia penuh pertimbangan kalau urusan beli-beli barang.
"Yaaa...menyenangkan hati istri kan berpahala," kalem saja jawabannya.
"Ayok, kemana kita?" Aku menggandeng tangannya.
"Aku tahu tempatnya. Yuk!"

***
Sejak malam, perutku mulas dan tegang. Kadang hilang, lalu muncul lagi. Berulang-ulang. Hingga subuh menjelang, mata ini belum terpejam. Hanya membolak-balikkan badan kiri-kanan sambil memandangi dia yang pulas di sebelah.

Sayup terdengar adzan. Aku menggugahnya.
"Bangun , Mas. Sudah adzan."
Dia membuka mata, menggeliat dan duduk di tepi bed. Memandangiku.
"Adek gak tidur?"
"Gak bisa tidur. Perutku mulas dari semalam."
Dia mengecupku sekilas.
"Nanti kita ke dokter. Subuh dulu."

***

Usai jalan pagi, kami sarapan. Dua bungkus nasi uduk yang tadi dibelinya dari Simbah yang menjaja di depan gang masjid.
Kontraksi dan mulas silih berganti datang dan pergi. Lalu tiba-tiba terasa kontraksi yang kuat sekali. Aku mencekal lengannya kuat-kuat.
Meringis menahan sakit, sambil mengatur napas.

Sorenya kami datang ke dokter lagi ketika aku hampir menyerah dengan kontraksi yang semakin kuat. Sebelumnya, sempat berdebat kecil karena aku tersinggung dengan pertanyaannya, "Ini beneran sakit, Dek?"
Yaelaah...Pak ...Pak.
"Yang dulu kan gak begini banget," begitu argumennya membela diri.
"Maas, yang dulu itu kan hamilnya gak bermasalah. Masalahnya adalah ketuban pecah dini dan tidak ada kontraksi. Makanya aku gak merasa mules mules kesakitan kayak begini." Aku mencoba menjelaskan.
Dia mengangguk-angguk.

Saat pemeriksaan, disampaikan bahwa sudah pembukaan dua. Aku disarankan stay di klinik agar bisa diobservasi. Apalagi HPL sudah jauh terlampaui.

Bidan senior yang menangani. Dokter yang biasa kutemui sedang cuti akhir tahun. Dokter perempuan yang satu lagi menghadiri seminar di Bangkok. Tersisa dokter laki-laki yang buru-buru ditolak oleh suami.

Kamar kelas tiga penuh. Kami diantar ke kamar kelas dua. Dalam hati aku berdoa, semoga gaji honor suami dan subsidiku cukup untuk biaya persalinan dan pemulihan.
Kontraksi masih hilang-muncul malam itu. Sehabis maghrib, bidan datang dan mencek segala sesuatu.
"Ibu rileks saja. Mudah-mudahan tidak lama lagi." Lalu berbicara beberapa hal pada suamiku.

Malamnya, aku eh kami tertidur pulas. Bangun ketika adzan subuh mengalun. Mulas-mulas yang kemarin kurasakan telah hilang.

Pagi itu, kami menunggu bidan datang. Namun sampai jam setengah sepuluh, tak seorangpun muncul. Aku mendesak suamiku bertanya pada perawat yang berjaga, apakah semalam ada bidan datang ke kamar kami.
Dan jawabnya membuat aku melongo.
Tak ada.

"Kalau ibu semalam bisa pulas tidurnya tanpa diganggu kontraksi, berarti kemungkinannya masih lama. Kala pembukaan dua itu waktunya bisa berhari-hari."

Aaaahhh...tiba-tiba aku ingat Bu Ahmad yang menginap dua minggu di rumah sakit.

"Pulang yuk, Mas." Aku menggamit tangannya.
"Kok pulang?"
"Ssst... Ngurangi pengeluaran tau. Nanti saja balik lagi kalo dedeknya sudah mau keluar. Sana, Mas urus dulu administrasinya."

Dia berlalu. Beberapa waktu kembali lagi menjumpaiku di kamar.
"Habis berapa, Mas?"
"Gak ada..."
"Masak gratis?"
"Katanya nanti saja digabung dengan paket melahirkan nanti."
"Yaelaaahhh..ada paket-paket segala." Aku mengamati kertas di tanganku. Tertera list paket melahirkan beserta harganya.
Aku menelan ludah. Diam-diam berdoa.
"Yuk, Sayang." Dia menggamit lenganku.

Berdua kami melenggang meninggalkan klinik tempat menginap semalam.
Pulang.

*****

Bersambung


Tidak ada komentar: