Sabtu, 01 April 2017

Bukan sekedar "CUMA"

Menyandang profesi sebagai ibu rumah tangga, kadang membuat seorang perempuan merasa minder. Tentu saja, karena banyak orang masih belum mengakui profesi ini sebagai suatu profesi yang patut diapresiasi. Padahal profesi inilah satu-satunya profesi yang full tantangan, full tekanan, butuh aneka ragam skill, energi dan stok kesabaran tinggi. Profesi ini juga tidak mengenal libur, cuti atau bahkan resign ketika tidak cocok. Lebih jauh lagi, profesi ini kadang imbalannya tidak kentara dan butuh waktu lama untuk melihat progressnya.

Nah, sejak berusaha move on dari perasaan minder karena CUMA ibu rumah tangga, saya berusaha mengubah persepsi lingkungan sekitar saya tentang profesi ini. Saya memang seorang ibu rumah tangga dengan 4 anak, plus plus plus. Di dunia sosial yang tidak penting-penting banget untuk mencantumkan titel dan profesi, saya sebisa mungkin menghilangkan jejak. Jika beberapa orang bertanya tentang aktivitas saya, saya pede saja menjawabnya dengan, "Ibu rumah tangga". Walaupun banyak yang tidak percaya, hahaha... Siapa lagi yang akan menghargai profesi ibu rumah tangga kalau bukan ibu-ibu rumah tangga itu sendiri, ya nggak?

Perkembangan selanjutnya dari menjadi ibu, adalah mengurus dan mendidik anak. Tentu saja urusan ini tidak kalah menantangnya dan penuh perjuangan. Alhamdulillah, 4 anak yang diamanahkan kepada kami, saat ini 2 diantaranya telah memasuki usia sekolah. Saya dan suami, sangat-sangat percaya bahwa LINGKUNGAN sangat besar perannya dalam proses mendidik anak. Sebagai konsekuensinya, suami sangat teliti memilih lingkungan dimana kami akan tinggal, beraktifitas, dan berinteraksi. Harapannya, bisa tetap menjaga kami dalam kebaikan. Kalaupun ternyata ada keburukan yang dijumpai, pasti selalu ada evaluasi.

Suatu siang, ketika tengah mengantre di sebuah bank syariah untuk suatu keperluan, kami bertemu dengan sepasang orang tua, teman lamaaa... banget yang dahulunya pernah akrab dengan keluarga kami. Kehidupan kami yang nomaden (hiks) sejak awal berumah tangga membuat jejak kami sukar dilacak, hehe.
Kami saling bertanya kabar, bertukar cerita dan perkembangan anak-anak. Si Ibu, mengisahkan anak sulungnya yang sekarang sudah di Perguruan Tinggi, yang duluuu banget putrinya itu adalah muridnya suami. Beliau pun menanyakan tentang anak-anak saya.
"Empat bu, satu putri, 3 putra," Saya menjawabnya.
"Oh iya, dulu yang pertama yang putri cantik itu, sekarang sekolah dimana?"
Ibu ini menyempatkan silaturahmi ke kontrakan kami waktu putri pertama lahir, dan dalam beberapa kesempatan kami jumpa, selalu menimang putri saya.
"Di Ibnu Katsir bu, sebelumnya di SDTQ."
"Kelas berapa?"
"Kelas dua, Bu."
Beliau mengangguk-angguk.
Dalam hati, saya senyum melihat raut si Ibu yang sepertinya mikir. Saya merasaaa...
"Ibnu Katsir itu di mana Bu?"
Tuuh kan :)
"Di Tembesi Ibu."
"Kok saya baru dengar?"
"Sekolah baru, home schooling." Beliau manggut-manggut.
"SDTQ?"
" Di Perumahan XXX, dekat klinik YYY"
Saya memahami pertanyaan yang tersirat dari ibu itu. Anak-anaknya sekolah di SDIT yang cukup terkenal di wilayah kami. Dulu kami pun kenal beliau di sana, karena kebetulan suami dan saya juga dulu bertugas di sana. Selain saya juga mengajar di lembaga lain yang cukup dikenal di wilayah itu. Saya seperti mendengar pertanyaan yang umum dilontarkan kepada kami oleh banyak kenalan-kenalan kami,"Kenapa gak di sekolah A, B atau C. Disana kan lebih bagus. Bapak dan Ibu kan dulu aktif di sana?"
"Baru dengar ya Pah?" Dia menoleh meminta dukungan suaminya. Saya tersenyum juga.
"Iya bu, sekolahnya memang baru. Disana pelajaran umumnya sedikit saja porsinya. Setiap hari, anak-anak cuma belajar Al Quran." Saya kadang merasa gimanaaa gitu kalau mengucapkan kalimat ini. Ada perasaan yang mungkin hanya saya yang merasakannya. Tapi, inilah komitmen yang telah saya dan suami sepakati. Mungkin rendah di mata sebagian orang, mengingat dulu aktivitas saya dengan berbagai kursus untuk anak-anak: sempoa,bahasa inggris, baca quran, calistung, pelajaran sekolah, kimia, jauuuuhhh.
"Masya Allah... Ibu, kenapa bilang CUMA? Masya Allah... Al Quran itu sudah SEMUA ILMU, Bu!" Beliau mengucapkannya dengan penuh tekanan. Saya surprise dengan respon ibu ini. Beliau yang tadinya lemah lembut lemah gemulai khas orang Sunda, tiba-tiba bersemangat dan menepuk pundak saya.
"Saya salut dengan Pak A dan Ibu. Saya tahu kapasitas Bapak dan Ibu, namun saya bangga pada orang yang memilih untuk menekuni Al Quran sebagai bekalan untuk anak-anaknya."
Saya melongo. Rasa percaya diri saya menguat. Selama ini, di lingkungan kami, pilihan kami untuk anak-anak lebih banyak berseberangan dengan pendapat sebagian besar orang. Saya kadang merasa sedih, karena merasa berjalan sendiri. Sungguh, ucapan ibu ini, sangat menguatkan saya. Ibarat segelas air di padang pasir, membawa harapan untuk saya untuk terus bertahan.

Saya tidak tahu apa komentar suami saya dan juga suaminya, karena nomer saya sudah dipanggil untuk dilayani.  Namun setelah berpisah dan turun ke parkiran, saya merasa bersemangat. Ucapan ibu tadi terngiang-ngiang terus di telinga saya. Alhamdulillah, pertemuan yang tak direncanakan ini memberikan suatu pencerahan bagi saya.
Ya ya... kadang kita memang tidak pede dengan pilihan-pilihan kita yang jauh dari hingar-bingar apresiasi. Kita masih sering menilai sesuatu dengan ukuran-ukuran duniawi.
CUMA ibu rumah tangga...
CUMA ustadz..
CUMA sekolah di Ma'had atau pondok...
CUMA berdoa dan minum herbal...(kalau sakit)
Padahal, apa yang kita lakukan itu, sejatinya adalah jalan menuju kebahagiaan hakiki, jalan menuju solusi. Berkelanjutan hingga ke akhirat. Namun, memang sedikit yang memilihnya, karena seperti yang dikatakan Rasulullah saw, bahwa beliau akan bersama dengan golongan yang sedikit.
Semoga kita, termasuk ke dalam golongan yang sedikit itu.

Gombak KL, 01042017


Tidak ada komentar: